Berdasarkan catatan Pertamina Area Kepri, penggunaan BBM bersubsidi turun dari sekitar 400 kilo liter per hari menjadi hanya 150 kilo liter per hari.
Caranya? Hampir mirip dengan yang selalu dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan masalah kesejahteraan, yaitu dengan "kartu sakti" bernama Kartu BBM (Fuel Card).
Hanya kurang dari setahun, penerapan Kartu BBM relatif dapat menyelesaikan permasalahan penyalahgunaan sekaligus mengurangi distribusi BBM bersubsidi.
Kartu BBM sejatinya adalah kartu pengendali penyaluran solar bersubsidi.
Kartu itu memastikan setiap tetes solar bersubdisi digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan, bukan oleh kalangan industri.
Awalnya, kartu pengendali ini bernama Kartu Survei, dan hanya digunakan untuk mengetahui berapa sesungguhnya kebutuhan solar bersubsidi riil oleh masyarakat.
Kartu survei yang diterapkan pada 10 Maret 2014 itu berupa rekomendasi pembelian solar bersubsidi.
Kartu itu dikeluarkan oleh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Sumber Daya Mineral (untuk kebutuhan BBM kendaraan pribadi, kendaraan umum dan industri mikro) serta Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Kehutanan (untuk kebutuhan BBM nelayan).
Kemudian, Pemkot mengeluarkan kebijakan yang memperketat pembelian solar bersubsidi. Setiap kendaraan darat hanya boleh membeli maksimal 30 liter solar per hari, kecuali bus pariwisata yang bisa membeli hingga 50 liter per hari.
Dalam penerapan dua kebijakan itu, maka pengendara harus menunjukkan Kartu Survei saat hendak membeli solar bersubsidi.
Lalu, di kartu itu, akan dicatat nilai transaksi solar bersubsidi hingga petugas SPBU dapat mengawasi jumlah maksimal pembelian.
Jika pengendara hendak membeli solar bersubsidi melebihi kuota yang ditetapkan, maka harus membayarnya dengan harga nonsubsidi.
Kepala Dinas Perindag ESDM Kota Batam Amsakar Achmad mengatakan pembatasan pembelian solar bersubsidi itu sesuai dengan kajian jumlah kebutuhan maksimal BBM setiap kendaraan.
"Itu sudah kami hitung yang paling maksimal. Kalau kendaraan putar-putar di Batam, maka maksimal habis 30 liter per hari. Begitu pula untuk bus pariwisata, kami tetapkan maksimal 50 liter per hari, karena kalau cuma 30 liter tidak cukup. Nanti bus tidak bisa kembali ke Batam dari Barelang, kebutuhannya lebih besar," kata dia.
Kemudian, untuk semakin membatasi ruang gerak penyelewengan solar bersubsidi, Pertamina menggandeng BRI mengeluarkan Kartu BBM dengan sistem elektronik pada 18 September 2014.
Kartu BBM dengan sistem elektronik itu merekam data kendaraan dan mencatat setiap pembelian solar bersubsidi agar tidak melebihi kuota.
Penerbitan Kartu BBM elektronik bertujuan sekaligus untuk meminimalisasi duplikasi Kartu Survei.
"Kartu survei itu banyak dipalsukan. Bagaimana tidak, hanya selembar kertas, mudah digandakan," kata Amsakar.
Kartu BBM juga diintegrasikan dengan sistem perbankan, sehingga pembayaran pembelian solar bersubsidi harus non-tunai.
Penggunaannya menyerupai pembelian pulsa telepon selular pra-bayar yang bisa diisi ulang di kantor BRI dan mesin-mesin ATM bank yang sudah bekerja sama dengan BRI, juga kendaraan pelayanan BRI bergerak (mobile).
Penerapan Kartu BBM, termasuk dengan integrasi sistem elektronik itu, hanya memakan waktu kurang dari enam bulan.
Sukses
Meski baru diterapkan, namun kebijakan itu terbilang sukses. Amsakar pun puas. "Saya rasa ini berjalan cukup baik, sesuai dengan harapan," kata dia.
Manajer Pemasaran Pertamina Wilayah Kepulauan Riau Aji Anom Purwosakti menjabarkan berdasarkan data Pertamina, penjualan solar bersubsidi di Batam turun signifikan.
Jika pada 2013 penjualan mencapai 400 kilo liter per hari, maka pada 2014 rata-rata penjualan hanya 150 kilo liter per hari.
Setelah dikalkulasi, akhirnya Anom menyimpulkan kebutuhan riil solar bersubsidi di Batam hanya 150 kilo liter per hari.
Artinya, sebelum kebijakan itu diterapkan sebanyak 250 kilo liter solar bersubsidi diselewengkan setiap hari.
Turunnya jumlah penjualan solar itu menjadi contoh keberhasilan menghemat BBM bersubsidi.
Oleh Jannatun Naim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014