Jakarta (ANTARA News) - Greenpeace Indonesia menemukan indikasi kebocoran limbah dari kegiatan tambang batubara yang bisa mencemari air dan merusak bentang alam Kalimantan Selatan.Riset menunjukkan bahaya yang nyata dari limbah berbahaya yang dilepaskan oleh perusahaan tambang ke badan-badan air dan lingkungan...
"Hasil riset menunjukkan bahaya yang nyata dari limbah berbahaya yang dilepaskan oleh perusahaan tambang ke badan-badan air dan lingkungan di sekitar konsesinya. Itu bukan hanya mencemari air tetapi juga menghancurkan bentang alam di Kalimantan Selatan," kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan pada 2008 pemerintah pusat mengeluarkan 26 izin tambang dan pemerintah daerah menerbitkan 430 izin tambang di Kalimantan Selatan.
Tahun 2011, ia melanjutkan, lebih dari 30 persen produksi batubara Indonesia yang berkisar 353 Mt dihasilkan oleh 14 perusahaan batubara terbesar di Kalimantan Selatan.
Dalam riset yang berlangsung sembilan bulan, Greenpeace mengumpulkan sampel dari kolam-kolam tambang yang dioperasikan oleh lima konsesi tambang.
Hasilnya, dari 29 sampel yang diambil, 22 sampel memiliki derajat keasaman (pH) dibawah enam, dengan pH paling rendah 2,32.
Sedangkan 17 sampel mengandung Mangan hingga 10 kali ambang batas, tujuh kandungan Besinya melampaui batas dengan konsentrasi tertinggi mencapai 40 kali ambang batas.
Peneliti air Greenpeace Indonesia Hilda Meutia mengungkapkan begitu banyak keanekaragaman yang hilang akibat pertambangan.
"Walaupun secara teori orang bisa bilang reklamasi, tapi itu bukan hal yang mudah dan tidak bisa kembali ke awal. Karena lapisan tanah yang subur sudah hilang," kata Hilda.
"Satu-satunya tanaman yang ditanam di sana hanya akasia dan akhirnya hanya akan jadi hutan homogen. Akhirnya, reklamasi itu hanya teori dan tidak akan bisa mengembalikan keanekaragaman alam Kalimantan Selatan," jelasnya.
Ia menambahkan kolam penampungan akhirnya tidak berfungsi karena curah hujan di Indonesia cukup deras sehingga air asam tambang meluap.
"Sangat sulit tanahnya berfungsi kembali, sampai 35 tahun pun tidak bisa kembali seperti semula. Sehingga masyarakat hanya ditinggali hutan akasia yang tidak banyak berfungsi baik dari ekonomi dan historisnya tidak ada nilainya," ujar Hilda.
Pewarta: Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014