"Ada monopoli oleh negara dalam pelayanan kesejatan," ujar kuasa hukum pemohon Aan Eko Widiarto di Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu.
Aan menjelaskan bahwa negara memang harus bertanggung jawab terkait dengan penyelenggaraan jaminan kesehatan, namun seharusnya negara tidak menutup celah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Lebih lanjut Aan mengemukakan bahwa beberapa badan pelaksana jaminan kesehatan masyarakat tidak bisa beroperasi karena satu satunya penyelenggara jaminan kesehatan masyarakat adalah BPJS.
"Ini menutup akses masyarakat untuk berpartisipasi beri pelayanan kesehatan masyarakat," jelas Aan.
Perkara ini dimohonkan oleh PT. Papan Nirwana, PT Cahaya Medika Health Care, PT Ramamuza Bakti Usaha, PT Abdiwaluyo Mitrasejahtera, serta dua orang dari unsur pekerja yaitu Sarju dan Imron Sarbini.
Para pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 15 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), ayat (2) huruf c, ayat (4), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang BPJS.
Para pemohon merasa dirugikan dengan adanya Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU BPJS yang mewajibkan seluruh pemberi kerja mendaftarkan diri beserta seluruh pekerjanya pada BPJS karena mereka menilai pemberi kerja tidak mempunyai pilihan lain selain BPJS untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehjatan yang lebih baik kepada pekerjanya.
Sementara untuk Pasa 17 ayat (1), ayat (2) huruf c dan ayat (4) UU BPJS yang menjelaskan sanksi administratif apabila tidak mendaftarkan diri sebagai peserta BPJS dianggap bersifat diskriminatif dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Sedangkan Pasal 55 UU BPJS yang memuat sanksi pidana atau denda, dianggap mengakibatkan tidak mendapat rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015