Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menyita sejumlah aset dan uang lebih dari Rp100 miliar milik Fuad Amin Imron terkait penyidikan kasus dugaan penerimaan suap dalam jual beli gas alam.Terkait dengan penyidikan untuk tersangka FAI (Fuad Amin Imron), penyidik telah melakukan penyitaan atas sejumlah aset di antaranya dua rumah di Surabaya, enam mobil dan uang lebih dari Rp100 miliar,"
"Terkait dengan penyidikan untuk tersangka FAI (Fuad Amin Imron), penyidik telah melakukan penyitaan atas sejumlah aset di antaranya dua rumah di Surabaya, enam mobil dan uang lebih dari Rp100 miliar," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Rabu.
Enam mobil milik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bangkalan tersebut adalah mobil Toyota Alphard, Toyota Camry, Honda Oddysey, Hyundai H1, Honda Mobilio dan Toyota Land Cruiser.
"Lokasi detail rumah FAI, saya belum tahu," kata Priharsa.
Sedangkan uang yang disita berasal dari sejumlah rekening Fuad yang kini tersangkut penerimaan suap dalam jual beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur dan tindak pidana pencucian uang tersebut.
"Uang yang disita bukan cash tapi dari rekening-rekening FAI (Fuad Amin Imron) yang sudah ditarik ke rekening penyitaan KPK," ujar Priharsa.
Kasus suap terhadap Fuad Amin sendiri terungkap melalui operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Direktur PT Media Karya Sentosa (MKS) Antonio Bambang Djatmiko dan perantara penerima suap yaitu Rauf serta perantara pemberi suap yaitu Darmono pada 1 Desember 2014. Selanjutnya pada Selasa 2 Desember 2014 ini hari, KPK menangkap Fuad di rumahnya di Bangkalan.
Fuad Amin saat menjabat sebagai Bupati Bangkalan mengajukan permohonan kepada BP Migas agar Kabupaten Bangkalan mendapatkan alokasi gas bumi yang berasal dari eksplorasi Lapangan Ke-30 Kodeco Energy Ltd di lepas pantai Madura Barat di bawah pengendalian PT Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore (PHE-WMO).
Kabupaten Bangkalan dan Pulau Madura memiliki hak diprioritaskan mendapatkan alokasi gas bumi untuk kebutuhan pembangkit berbahan bakar gas (PLTG) karena berguna untuk pengembangan industri di sekitar kawasan Jembatan Suramadu, kebutuhan kawasan industri dan kebutuhan rumah tangga warga Bangkalan.
Namun, sampai sekarang PHE-WMO tidak juga memberikan alokasi gas alam yang dimohonkan Fuad karena PHE-WMO menemui instalasi pipa penyalur gas bumi sampai sekarang belum juga selesai dibangun.
Kewajiban pembangunan pipa gas bumi ke Bangkalan, Madura, merupakan tanggung jawab PT MKS yang merupakan pihak pembeli gas alam berdasar perjanjian jual beli gas alam (PJBG) untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
Berdasar PJBG tersebut, PT MKS mendapatkan alokasi gas sebesar 40 BBTU dari BP Migas melalui Pertamina EP (PEP) atas pertimbangan MKS akan memasok gas sebesar 8 BBTU untuk PLTG Gili Timur, Bangkalan, Madura.
Untuk memenuhi persyaratan PJBG, MKS bekerja sama dengan BUMD Bangkalan PD Sumber Daya. Perjanjian yang mengatur "Pembangunan Pemasangan Pipa Gas Alam dan Kerja Sama Pengelolaan Jaringan Pipa" antara MKS dan BUMD PD Sumber Daya ternyata tidak pernah diwujudkan MKS akibatnya, gas bumi sebesar 8 BBTU untuk PLTG Gili Timur tidak pernah dipasok MKS.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Fuad sebagai tersangka penerima suap berdasarkan pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU PEmberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Fuad Amin juga disangkakan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) berdasarkan pasal 3 UU No 8 tahun 2010 dan pasal 3 ayat (1) UU No 15 tahun 2002 yang diubah dengan UU No 25 tahun 2003 mengenai perbuatan menyamarkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Ancaman bagi mereka yang terbukti melakukan perbuatan tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.
Tersangka lain adalah Bambang Djatmiko dan Rauf sebagai pemberi dan perantara yang dikenakan dugaan pasal 5 ayat 1 huruf a, serta pasal 5 ayat 1 huruf b serta pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015