Jakarta (ANTARA News) - Pulau Penyengat, sebuah pulau kecil yang berseberangan dengan Kota Tanjung Pinang (Kepri) menyimpan warisan nasehat berupa Gurindam Dua Belas, yang nilai-nilainya masih relevan hingga saat ini.
Gurindam Dua Belas karya sastrawan Melayu pada awal abad 19, Raja Ali Haji, merupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom) masyarakat Melayu-Bugis.
Sebagai akar dari sastra Melayu yang tertulis, Gurindam Dua Belas membahas persoalan akidah dan tasawuf, syariat Islam, rukun Islam, budi pekerti atau akhlak, serta konsep pemerintahan.
Gurindam yang terdiri dari kata pengantar dan 12 pasal yang berisikan penjelasan mengenai berbagai kehidupan manusia. Tiap-tiap pasalnya berisikan nasehat yang menyentuh jiwa dan kesadaran masyarakat.
"Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama". Dari petikan nasehat Pasal Pertama sudah dapat dirasakan pandangan filosofis budaya Melayu yang mengurat akar dengan ajaran agama Islam.
Raja Ali Haji menekankan pentingnya agama untuk dipegang oleh seseorang. Hanya orang-orang yang beragama yang namanya pantas untuk disebutkan.
Kemudian penekanan pentingnya memegang teguh agama berlanjut ke baris-baris berikutnya seperti di bawah ini:
"Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah".
"Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri".
"Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang terperdaya".
"Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah ia dunia mudharat".
Dapat diartikan orang yang mengenal agama akan mengetahui dirinya dan mengenal Tuhannya, sehingga tidak salah melangkah setiap perbuatannya di dunia.
Mengutip dari artikel akademik yang ditulis Faurina Anastasia pada April 2012, Gurindam Dua Belas berisi himbauan dan nasehat Raja Ali Haji kepada masyarakat Pulau Penyengat, masyarakat Melayu secara khusus, dan setiap pembaca secara umum.
Raja Ali Haji merupakan cendekiawan yang lahir dan wafat di Pulau Penyengat. Ia merupakan orang pertama yang memberikan definisi lengkap tentang gurindam.
Gurindam apabila melihat dari akar kata berasal dari bahasa Tamil "kirindam" yang artinya umpama. Gurindam adalah kata-kata mutiara yang berbentuk puisi yang umumnya berupa nasihat.
Budaya tutur orang Melayu begitu kental, sehingga banyak karya yang anonim. Bahkan sebelum abad 19 hanya sedikit yang mengetahui siapa yang mengarang, menyalin, serta mencipta kata-kata mutiara.
Menurut Hendrik M.J. Maier, mengatakan bahwa Raja Ali Haji adalah pengarang Melayu pertama yang mulai membuka tabir anonim sastrawan Melayu.
Raja Ali Haji dapat lebih mengenal sebagai pribadi melalui penerbitan surat menyurat pribadinya dengan sarjana kelahiran Jerman yang pernah tinggal di Tanjung Pinang, Von de Wall, antara tahun 1855 hingga 1870.
Dapat dikatakan, Raja Ali Haji mulai memperkenalkan budaya tulis di kalangan cendekiawan Melayu.
Hal itu tergambar dalam kata pengantar Gurindam Dua Belas, Raja Ali Haji telah menyebutkan tanggal penulisan karya, hingga menuliskan arti gurindam, perbedaan gurindam dengan syair, serta manfaat gurindam.
Ia menjelaskan Gurindam sebagai syair yang hanya terdiri dari 2 larik dan saling berkaitan. Jika larik pertama adalah sebab, maka larik kedua adalah akibat. Jika larik pertama adalah pertanyaan, maka larik kedua adalah jawaban.
Sesuai dengan prinsip larik pertama adalah "syarat" atau "kondisi", sementara larik kedua merupakan "jawab", maka larik kedua pada Gurindam Dua Belas merupakan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi apabila seseorang berada pada kondisi pada larik pertama.
Kita ambil contoh, Pasal ke-7 ada baris yang menyebutkan "Apabila banyak mencela orang, itulah tanda dirinya kurang".
Apabila diartikan, jika seseorang masuk dalam kondisi sering mencela orang lain, berarti orang itu adalah orang yang kurang baik atau memiliki cacat yang sebenarnya pantas dicela.
Kedua larik tersebut mengajarkan nilai akhlak untuk menahan diri dari mencela orang lain. Nilai tersebut sangat relevan dan berlaku universal.
Bahkan hingga di era kemajuan teknologi informasi saat ini. Kemajuan teknologi informasi merupakan sarana, tetapi akhlak untuk menahan diri dari mencela orang lain juga harus tetap dipegang.
Kemudian berlanjut masih di Pasal ke-7 ada baris yang menyebutkan:
"Apabila perkataan yang amat kasar,
lekaslah orang sekalian gusar".
Hal itu dapat diartikan jika seseorang melontarkan perkataan yang amat kasar, akan membuat orang menjadi marah.
Melontarkan perkataan yang kasar harus dipahami bahwa pengetahuan terhadap keyakinan akan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang atau masyarakat harus dimiliki apabila ingin mengeluarkan pernyataan.
Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi jangan mengesampingkan keyakinan seseorang atau masyarakat terhadap nilai-nilai yang dianut.
Penyampaian kritik harus berada dalam koridor yang tepat, sehingga dapat terhindar dari melontarkan kata-kata yang amat kasar. Karena akan membuat banyak orang menjadi marah.
Apabila mengaitkan dengan kasus majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, yang menyinggung nilai-nilai kepercayaan golongan tertentu. Membuat majalah itu menuai kritikan dan kemarahan dari banyak pihak, yang tidak saja berasal dari golongan yang disinggung, juga dari kalangan media massa sendiri.
Ada baris lain di Pasal ke-7 yang menyebutkan:
"Apabila mendengar akan khabar,
menerimanya itu hendaklah sabar".
Dapat diartikan bahwa orang bila menerima kabar atau berita harus dengan kepala dingin dan ditelaah dengan benar kabar tersebut. Jangan langsung tersulut emosinya ketika mendengar kabar.
Menurut riset yang dilakukan oleh Moh. Taufiqurrahman, Gurindam Dua Belas berisikan nilai-nilai karakter kebudayaan Melayu yang memadukan antara nilai-nilai ajaran Islam dengan kebudayaan Melayu.
Nilai-nilai karakter yang terdapat dalam Gurindam Dua Belas antara lain: iman dan takwa, tidak berdusta, larangan mengumpat dan mencacat, ringan tangan, menjaga hati, sikap berhemat, sabar, lemah lembut, tanggung jawab, amanah, ikhlas dan rela berkorban, patuh kepada bapak dan ibu, serta cinta Tanah Air.
Meski satu abad sudah berlalu, kumpulan nasihat yang termaktub dalam Gurindam Dua Belas masih dan akan selalu menemukan relevasinya di masyarakat.
Warisan sastra Melayu yang lahir di Pulau Penyengat ini adalah warisan yang tak tak lekang akan waktu dan tak surut oleh generasi.
Oleh Ruslan Burhani
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015