Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, singkong adalah makanan kelas dua. Namun, bagi Profesor Achmad Subagio singkong sudah sangat dekat dan menjadi bagian hidupnya di masa kecil.
Sebelum menjadi peneliti dan pengajar di Universitas Jember, Subagio tumbuh dari keluarga pedagang. Ketika masih duduk di bangku sekolah, dia ikut membantu keluarganya menjual 'gethuk', pangan khas dari singkong. Melalui kakaknya, dia belajar memilih singkong terbaik dan mengolahnya.
Tumbuh dewasa, Subagio tidak serta merta mulai serius dengan singkong. Ketika mengenyam pendidikan lanjutan di Jepang, penelitiannya justru tentang pigmen bunga Seruni yang dapat diekstrak menjadi pewarna alami.
"Tetapi ketika saya pulang ke Indonesia, saya pikir Indonesia belum membutuhkan penelitian itu," katanya. Perjalanan kemudian membawanya ke Belanda, ke sebuah pabrik pengolahan kentang untuk menjadi pati atau tepung yang memberinya inspirasi. Sejak saat itulah, di tahun 2004 dia bertekad untuk meneliti dan mengolah sumber pangan lokal, lalu pilihannya jatuh pada singkong. "Kenapa singkong, karena sumber pangan ini mudah dan banyak ditemukan di Indonesia," tambahnya.
Dalam gambaran besar Subagio, Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk yang terus bertambah. Kenyataan ini tentunya akan memunculkan kebutuhan pangan yang besar. Jika hanya bergantung pada beras, maka negara ini akan terus menerung melakukan impor.
"Diperlukan sumber pangan alternatif," ujarnya.
Agar memberikan hasil yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, sumber pangan alternatif tersebut harus mampu tumbuh di lahan marjinal (lahan-lahan kritis atau lahan yang tidak digarap dengan baik). Menurut data yang dia pegang, lahan kurang subur itu ada sebanyak 60% dari total lahan yang dimiliki Indonesia.
Saat ini, negara ini akan sulit mencetak lahan baru tanpa melakukan perambahan, oleh karena itu, pemanfaatan lahan kritis bisa menjadi solusi.
Untuk memanfaatkan lahan kritis tersebut, Subagio tidak hanya menggunakan komoditas singkong saja. Dia juga membudidayakan kacang koro sebagai alternatif protein masyarakat. Beragam jenis koro mampu tumbuh di lahan kering dan cenderung kurang subur. Kacang koro juga bisa menjadi pengganti kedelai dalam pembuatan tempe, panganan yang sudah sangat familiar dengan lidah masyarakat Jawa.
Namun, hanya dengan penelitian saja akan sulit membuat perubahan, oleh karena itu Subagio tidak berhenti dengan jas lab nya saja. Dia lepaskan jas putih itu dan turun ke lapangan, ke masyarakat, dan ke pihak swasta. Hasilnya di menggagas pembuatan MOCAF (Modified Cassava Flour) sebuah olahan tepung dengan bahan dasar singkong. Pada tahun 2006, Guru Besar Universitas Jember ini mulai membuat pabrik MOCAF di Trenggalek.
Pabrik itu sudah mampu memproduksi ratusan ton tepung MOCAF setiap bulannya. Sayang, pabrik tersebut kurang berkembang karena terkendala beberapa masalah. Beberapa tahun kemudian, dia memulai lagi membuat pabrik di Solo dengan menggaet investor. Hasilnya, pabrik tersebut menjadi berkembang.
Berhasil menggaet sektor swasta belum menjadi garis finis bagi pria yang di rentang umur 40an ini. Subagio bertekad, harus mampu memberdayakan masyarakat yang berada di lahan-lahan marjinal. Masyarakat itu cenderung tidak memiliki banyak pilihan karena ingin bertani pun tanahnya tidak mendukung. Hasilnya mereka hanya akan menjadi buruh tani di daerah lain. Guna membantu desa-desa di lahan marjinal itu, dia membentuk kelompok-kelompok kerja yang mensuplai kebutuhan pabriknya.
"Ada satu desa yang khusus mengupas singkong, lalu ada yang mengiris, ada desa yang mencuci, ada juga yang menjemur," jelasnya. Melalui cara ini, dia mampu memberdayakan masyarakat desa dan memberikan pendapatan tambahan. Saat ini, sudah ada 65 desa di seluruh Indonesia yang dia bina untuk memproduksi MOCAF.
Pengembangan Subagio tidak berhenti pada tepung saja, dia mengolah tepung MOCAF itu menjadi beragam produk. Tentu saja untuk dapat melibatkan lebih banyak orang dan akhirnya mampu memberdayakan lebih banyak orang. Tepung unik tersebut diolah menjadi beragam kue-kue kering, brownies, sampai menjadi mie ayam. Melalui gerai Mister Te, dia menjual produk-produk tersebut. Tidak lupa dengan berbekal tepung MOCAF, pria kelahiran Kediri ini juga menciptakan beras cerdas sebagai pengganti beras dari padi.
Melalui upaya mengelola singkong dari hulu sampai hilir, Subagio sebenarnya telah memberikan pilihan terhadap terwujudnya kedaulatan pangan Indonesia. Esensi kedaulatan adalah mandiri, yaitu menggunakan produk lokal sehingga tidak bergantung pada impor. Saat ini, dia terus mengeksplorasi lahan-lahan marjinal untuk dapat menanam singkong dan koro-koroan. Seperti yang dia lakukan di pesisir pantai Jember yang teksturnya sangat berpasir. Beberapa jenis singkong dan koro berhasil tumbuh, hal ini menunjukkan harapan baru bagi sumber pangan Indonesia.
Oleh Ida Nurcahyani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015