Warga Sui Utik bersatu menjaga hutan

6 Februari 2015 12:42 WIB
Warga Sui Utik bersatu menjaga hutan
Tuai Rumah Betang Sui Utik, Bandi atau Apay Janggut di wilayah hutan adat iban Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. (ANTARA News/Monalisa)

Kami tidak akan menjual hutan untuk dapat uang. Itu bukan cara untuk mendapatkan uang...

Jakarta (ANTARA News) - Hutan seperti ibu bagi masyarakat Sui Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Hidup mereka tak terpisahkan dengan hutan, yang akan selalu mereka jaga tetap hidup.

"Hutan seperti ibu kami yang memberikan kami makan dan udara untuk bernafas. Hutan menjadi bagian hidup kami yang akan selalu kami jaga," kata Tuai Rumah Betang Sui Utik Bandi atau akrab disapai Apay Janggut.

Sebanyak 299 warga Sui Utik, hampir seluruhnya keturunan suku Dayak Iban, tinggal di Rumah Betang di tengah hutan adat, hutan hujan tropis seluas 9.452,5 hektare.

Mereka membuat Rumah Betang, rumah panggung kayu sepanjang 216 meter, dari kayu hutan tapi mereka membatasi maksimal 30 kayu yang digunakan untuk membangun setiap bagian rumah.

Hutan juga menjadi sumber pangan dan obat. Mereka berburu binatang, mencari tumbuhan obat, dan hasil hutan lain untuk menunjang kehidupan sehari-hari.

"Hutan seperti supermarket bagi kami. Mau makan apa ambil di hutan ada, juga binatang, ikan-ikan di sungai dan obat-obatan. Kalau tidak berkawan dengan alam, kami bisa kehilangan nafas," katanya.

"Kami bersama-sama merancang kesejahteraan, kalau hutan lestari maka semuanya lestari," jelas Apay Janggut.

Inay-inay, sebutan untuk para ibu, menenun kain khas Sui Utik serta menganyam tikar, keranjang, peralatan dapur dari tanaman hutan. Sementara Apay-apay, sebutan untuk para bapak, membuat gelang dan gagang parang juga dari hasil hutan.

Hutan menyediakan hampir semua kebutuhan hidup mereka. Dan mereka punya cara sendiri untuk mensyukuri berkah itu.

Mereka memberikan persembahan kepada hutan sebagai wujud ungkapan terima kasih sebelum membuka lahan untuk lading atau menebang pohon untuk membangun rumah.

"Kami kan kerja sama dengan dia (Hutan), kami meminta rezeki yang baik dari sana, maka kami pun memberikan persembahan," ujar Apay Janggut.

"Kalau mau menebang pohon, misalnya, kami kibas dengan ayam yang dipotong kalau mau ambil pohon. Jadi makhluk-makhluk yang menempati pohon itu diusir dulu," jelasnya.

Masyarakat Sui Utik bersatu menjaga hutan bukan hanya demi mematuhi aturan adat. Bagi mereka menjaga hutan adalah panggilan hati untuk menjaga sumber kehidupan.

"Kami ini satu karena menjunjung alam dan sungainya," kata Apay Janggut.

 
Tata Kelola Hutan Tembawang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tinggi dengan laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun dan 3,8 juta hektare per tahun pada periode 1997-2000.

Warga Sui Utik tidak ingin membiarkan hutan mereka menjadi bagian dari wilayah hutan yang terus terdegradasi.

Secara turun temurun, mereka mempraktikkan penerapan sistem tata kelola hutan Tembawang dengan memperhitungkan jenis pohon yang ditanam, waktu tanam, dan tidak membabat habis hutan mereka.

Dengan sistem itu, hutan dikelola secara berkelanjutan sesuai kearifan dan aturan sosial lokal. Misalnya saja, saat membuka hutan untuk ladang, mereka selalu meninggalkan sejumlah pohon tetap berdiri.

Penerapan model tata kelola itu membuat hutan adat Sui Utik punya beragam jenis tumbuhan sumber pangan, obat-obatan, bahan bangunan serta penghasil komoditas komersial seperti karet dan tengkawang.

"Kami menjaga hutan agar tidak gundul. Kalau hutan sudah gundul, sungai tercemar maka udara segar sudah tidak ada lagi, tidak bisa berladang. Kalau pohon masih lebat dan padi subur, bahkan kami tidak perlu pakai pupuk. Kalau pupuk itu kan untuk lahan yang sudah gundul," tutur Apay Janggut.

Demi melindungi hutan, warga Sui Utik menolak perusahaan-perusahaan yang ingin membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka. Iming-iming uang tak mengoyak kesetiaan mereka pada hutan.

"Dulu ada perusahaan mau ambil hutan di sini tapi orang Sui Utik ini keras, kami menolak keras," kata Apay Janggut, yang sudah berusia 86 tahun.


Tolak penebangan liar

Dari depan gerbang masuk menuju dusun yang berjarak 102 kilometer dari perbatasan Indonesia-Malaysia itu, terpampang jelas papan bertuliskan "Ini wilayah hutan adat Iban Sungai Utik seluas 9.452,5 hektare. Hutan adat bukan hutan Negara".

"Sampai kapan pun kami berusaha menjaga dan melestarikan hutan. Mempertahankan hutan itu sudah kewajiban setiap insan di Sui Utik," kata Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, yang merupakan penduduk asli Dusun Sui Utik.

Menurut Remang, tidak ada satu pihak pun yang bisa menembus hutan adat Sui Utik karena hutan segala-galanya bagi mereka.

Ia menuturkan sudah bertahun-tahun sejumlah perusahaan mencoba mengambil alih hutan adat Sui Utik untuk membangun perkebunan kelapa sawit atau industri kayu.

"Rentang tahun 2004-2007, luar biasa datang dari mana-mana, entah itu cukong, perusahaan sawit dari Indonesia, Malaysia atau perusahaan kayu," tutur Remang.

Perwakilan perusahaan-perusahaan itu menggunakan berbagai jurus dan strategi pendekatan demi bisa memanfaatkan kawasan hutan adat Sui Utik.

Remang mengingat beberapa tahun lalu ia juga pernah disodori kardus berisi uang ringgit Malaysia. Mereka berkali-kali datang namun Remang terus menolak.

Tidak hanya itu, tetua adat dan tokoh masyarakat juga diiming-imingi gaji bulanan, sementara warga mendapat tawaran bekerja di perusahaan tersebut beserta uang, air bersih serta mesin generator listrik.

"Kalau mau, saya sudah kaya. Tetapi saya tidak mau seperti itu," tegas Remang.

"Kami tidak akan menjual hutan untuk dapat uang. Itu bukan cara untuk mendapatkan uang. Kalau mau saya bisa atur semua, mengingat masa itu, kalau saya mau mungkin saya sudah tidak ada di sini sekarang karena sudah dikucilkan," jelas Remang.

Ia mengatakan masyarakat Sui Utik tidak mau menjual hutan karena berpikir jika hutan rusak maka mereka akan sulit melanjutkan hidup.

Mereka melihat desa lain yang telah menjual hutannya kepada perusahaan dan harus menelan dampak yang justru menyengsarakan mereka sendiri.

"Uang bisa habis, tetapi keturunan kami..., bisa berdosa besar kalau kami menjual hutan adat. Kami tidak mau durhaka pada alam dan sesama. Saya juga tidak mau mengkhianati anak serta saudara sendiri di sini dengan tergoda menjual hutan ini. Itu bukan jalan terbaik untuk kehidupan di sini," tutur Remang.

Warga Sui Utik yang kini masih hidup serba tebatas tanpa akses listrik sebenarnya bisa menjual kawasan hutan agar keinginan mereka sejak dulu untuk hidup dengan penerangan listrik bisa terwujud.

Tapi mereka memilih menjaga baik-baik hutan mereka dan hidup dalam gelap.

Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015