• Beranda
  • Berita
  • 51 persen penduduk Indonesia perokok, terbesar di Asia Tenggara

51 persen penduduk Indonesia perokok, terbesar di Asia Tenggara

6 Februari 2015 17:24 WIB
51 persen penduduk Indonesia perokok, terbesar di Asia Tenggara
Mayoritas perokok di Indonesia adalah kalangan miskin. (FOTO ANTARA/M Agung Rajasa)

Perokok di Indonesia banyak berasal dari kelompok miskin


Jakarta (ANTARA News) - Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak se-Asia Tenggara dengan jumlah perokok 51,1 persen dari total penduduknya.

Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Widyastuti Soerojo, mengatakan di Jakarta, Jumat merinci, sejumlah negara di Asia Tenggara dengan jumlah perokoknya, yakni di Kamboja 1,16 persen dari total penduduknya, di Brunei Darussalam 0,06 persen, dan Thailand 10,22 persen.

"Perokok di Indonesia banyak berasal dari kelompok miskin," katanya.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, tambahnya, prevalensi perokok menurut pendapatan, yakni pendapatan termiskin sebesar 43, 8 persen, sedangkan pendapatan terkaya sebesar 29,4 persen.

Kemudian, prevalensi perokok di Indonesia menurut pendidikan adalah tidak tamat sekolah atau SD sebesar 37,7 persen dan tamat perguruan tinggi 26, 7 persen.

Lebih lanjut ia mengatakan berdasarkan Riskesdas 2013 proporsi penduduk umur lebih dari 10 tahun menurut jenis pekerjaan, kelompok petani, nelayan dan buruh adalah proporsi perokok aktif setiap hari yang terbesar dengan persentase 44,5 persen dibandingkan kelompok pekerjaan lainnya, seperti pegawai sebesar 33,6 persen dan wiraswasta 39,8 persen.

"Penduduk miskin ini yang menjadi korban utama rokok, begitu memprihatinkan," katanya.

Kemudian, menurut karakteristik, proporsi terbanyak perokok aktif setiap hari pada umur 30--34 tahun sebesar 33,4 persen, umur 35--39 tahun 32,2 persen, sedangkan proporsi perokok setiap hari pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perokok perempuan yakni 47,5 persen banding 1,1 persen.

Selain itu, Widyastuti yang juga Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan industri rokok dianggap industri normal sehingga mendapat perlindungan pemerintah.

"Akibat dianggap sebagai industri normal industri rokok menjadi industri agrobisnis, bebas beriklan dan menjadi stakeholder kebijakan pengendalian tembakau. Padahal industri rokok bukan industri normal meskipun ia legal," katanya.

Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan tindakan pengendalian tembakau sehingga dapat menekan produk rokok yang tersebar di mana-mana.

"Kita ingin masa depan lebih sehat bagi masyarakat," katanya.

(M052)



Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015