• Beranda
  • Berita
  • Dansa jadi metode kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan

Dansa jadi metode kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan

14 Februari 2015 23:57 WIB
Dansa jadi metode kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan
Kampanye melawan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan, yaitu dengan berdansa. (http://kitabisa.com/1billionrising)

Kami membuatnya seperti sebuah pesta dansa, digelar di malam hari dan menghadirkan disc jockey (DJ).


Jakarta (ANTARA News) - Ratusan orang ikut terlibat dalam aksi massa untuk melawan tindak kekerasan terhadap perempuan lewat gelaran bertajuk One Billion Rising for Justice Indonesia (OBR) di Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu.

Aksi OBR yang telah memasuki tahun ketiga itu merombak ide pelaksanaan acara mereka tahun ini, bila sebelumnya pada 2013 dan 2014 bertempat di Monumen Nasional dan berlangsung siang hari, kini OBR Indonesia digelar pada malam hari.

"Kami berusaha membawa konsepnya bukan sekadar aksi massa biasa. Kami membuatnya seperti sebuah pesta dansa, digelar di malam hari dan menghadirkan disc jockey (DJ). Orang-orang biasanya menghabiskan uang jutaan rupiah untuk pergi melantai dansa, kini gratis dan jelas ada pesan yang ingin disampaikan," kata musisi Kartika Jahja yang juga salah satu pegiat OBR Indonesia. (Apa pendapat Kartika soal tren korban kekerasan?)

Selain tiga babak tarian yang memang sudah disiapkan, OBR juga dimeriahkan penampilan musik dari Chikita Fawzi, Titi Jalanan, MMS, DJ Indra 7, Yacko dan DJ Bolski, serta DJ Dylan. Kemudian ada juga pembacaan puisi oleh Elwa dan Dinda Kanya Dewi.

Fokus 2015

OBR Indonesia 2015 masih tetap mengusung tema penghentian kekerasan terhadap perempuan dengan fokus pada transportasi publik yang aman bagi perempuan.

OBR menemukan data bahwa meski kekerasan seksual secara statistik mayoritas terjadi di dalam rumah, namun terdapat temuan bahwa hal serupa juga berlangsung di ranah publik dan bahkan mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan, khususnya di moda-moda transportasi publik.

Pada 2011 silam misalnya, Livia seorang mahasiswi Bina Nusantara menjadi korban perkosaan dan dibunuh oleh lima orang pelaku di dalam sebuah angkutan umum.

Beranjak pada tahun 2012 mahasiswi berusia 24 tahun, Izzun Nahdiyah, juga mengalami kasus perkosaan dan pembunuhan di angkutan umum.

Bahkan pada 2014 kekerasan seksual juga dialami seorang pengendara Transjakarta, yang dilakukan oleh empat orang petugas saat ia pingsan di dalam bus. Setelah melalui proses hukum keempat pelaku hanya dijatuhi hukuman yang sangat ringan.

Sementara itu data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan satu dari tiga perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan, yang ironisnya pelaku didominasi orang-orang terdekat. (Di provinsi mana kasus kekerasan paling banyak menimpa perempuan?)

Sedangkan data Komisi Nasional Perempuan pada Maret 2014 lalu mencatat sedikitnya terdapat 279.688 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2013. (Ada tiga perempuan Indonesia jadi korban kekerasan seksual setiap dua jamnya)


Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015