"Di sinilah bukti evolusi lempeng tektonik sejak lebih dari 120 juta tahun yang lalu. Di sinilah lantai samudera purba berada," kata Edi Hidayat, kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian (UPT BIKK) Karangsambung Kebumen LIPI di Kampus LIPI Karangsambung, Kebumen, Selasa.
Dia mengatakan area Karangsambung kini menjadi miniatur geologi Indonesia. Di kawasan tersebut terdapat banyak jenis batuan, baik itu batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf.
Di Karangsambung sendiri memiliki aneka batu, termasuk jenis batu mulia. Beberapa batu beku seperti basal, granit, gabro, andesit, diabas dan dasit.
Kemudian batuan sedimen di antaranya rijang, konglomerat, batu pasir, batu gamping, batu gamping merah dan kalkarenit.
Selanjutnya, jenis batuan metamorf itu misalnya kuarsit, serpentinit, sekis mika, filit, karmer dan gnels.
Untuk itu, Edi berharap agar situs geologi Karangsambung tetap lestari demi ilmu pengetahuan.
Harapannya itu lantaran banyak masyarakat yang dengan sengaja menambang batu-batu di kawasan tersebut. Padahal batu alam di kawasan tersebut merupakan aset ilmiah yang sejatinya bisa diwariskan untuk anak cucu atau bukan sekedar ditambang untuk alasan ekonomi.
"Dulu, tahun 1990-an banyak geolog ke Karangsambung. Maka ini seharusnya kita lestarikan. Ini salah satu yang penting di Karangsambung, bahkan bagi Indonesia dan dunia. Di sini sampai banyak peneliti dan mahasiswa termasuk yang S-3 belajar ke sini. Ini jadi tempat cagar alam yang perlu dilindungi," kata dia.
Dia mengatakan di balik situs geologi Karangsambung yang relatif berbukit dalamnya terdapat fosil bawah laut.
"Kalau ini hilang maka ada ilmu pengetahuan yang hilang di Karangsambung," katanya.
Kawasan Karangsambung sendiri ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi Nasional pada 10 November 2006 oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Total luas situs geologi tersebut kini seluas 22.150 meter persegi yang membentang di tiga kabupaten yaitu Kebumen, Wonosobo dan Banjarnegara. Lokasi terluas ada di Kebumen.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015