Afganistan, yang mulai menangani sendiri pemberontakan Taliban sejak awal tahun karena sebagian besar pasukan NATO ditarik, dinilai PBB berhasil mencapai kemajuan dalam pengananan tahanan. Namun, di sisi lain, keengganan pemerintah setempat menghukum penyiksa justru membuat masalah itu masih umum terjadi.
"Upaya pemerintah Afghanistan mencegah penyiksaan dan penanganan salah terhadap tahanan mulai menunjukkan keberhasilan selama dua tahun belakangan," kata utusan tertinggi PBB untuk Afghanistan, Nicholas Haysom, dalam pernyataan tertulis.
"Meski demikian, masih banyak yang harus diperbaiki," tambah Heysom, seperti dilaporkan Reuters.
Undang-undang di Afghanistan sebetulnya telah melarang penyiksaan. Namun praktik tersebut masih banyak digunakan sebagai cara memperoleh informasi, tulis laporan PBB sambil menyatakan bahwa sistem hukum di negara tersebut terlalu bergantung pada pengakuan terdakwa sebagai dasar penetapan keputusan.
PBB, yang memang secara periodik menyiarkan laporan survei soal penyiksaan, menyatakan bahwa praktik penyiksaan turun sebesar 14 persen dibanding periode sebelumnya.
Dalam laporan tersebut, PBB menemukan bahwa 35 persen dari 790 tahanan yang dituduh terlibat dalam gerakan pemberontakan Taliban telah disiksa dan tidak diperlakukan sebagai mana mestinya.
Meski penyiksaan masih terjadi secara luas, hanya ada satu penyiksaan maju ke meja hukum sejak 2010.
Selain itu, PBB juga menyebut "keterangan terpercaya" mengenai keberadaan sejumlah tempat penahanan rahasia yang dijalankan oleh sejumlah badan pemerintahan Afghanistan. PBB mendesak agar tempat tersebut segera ditutup.
Dalam menyikapi temuan PBB itu, pemerintah Afghanistan mengaku memahami kekhawatiran lembaga internasional terbesar tersebut. Namun Afghanistan juga menolak "banyak hal" isi laporan yang secara statistik dinilai menyesatkan.
Di sisi lain, pemerintah Afghanistan mengakui bahwa penyiksaan adalah persoalan besar dan berkomitmen untuk menyusun rencana penghapusan praktik itu.
Dalam laporan PBB, para korban menyebut 16 metode penyiksaan, termasuk di antaranya adalah pemukulan, pengaliran listrik dan penggantungan.
"Impunitas yang terus terjadi untuk kejahatan penyiksaan membuat praktik tersebut terus terjadi berulang," kata direktur hak asasi manusia PBB untuk Afghanistan, Georgette Gagnon.
Sementara itu, penurunan angka penyiksaan yang tercatat dalam laporan 2015 terjadi karena kebijakan baru pemerintah, pelatihan yang lebih baik untuk teknik interogasi, dan inspeksi rutin.
(Uu.G005)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2015