"Nilai ekspor rajungan pada 2013 itu meningkat pesat, dari tahun 2005 yang masih berada di kisaran 130,9 juta dolar AS," kata Dr Purwito Martosubroto dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnasjiskan) Kementerian Kelautan dan Perikanan di Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Ketika berbicara pada "Seminar dan Lokakarya Perikanan Rajungan di Indonesia dan Kajian Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 dan 2 Tahun 2015", ia mengemukakan tujuan utama ekspor utama rajungan adalah Amerika Serikat.
"Di mana 50 persen nilai impor rajungan ke AS berasal dari Indonesia," katanya dalam kegiatan yang digagas bersama Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (P4KSI-KKP) itu.
Ia menjelaskan perikanan rajungan mulai berkembang sekitar tahun 1990-an, di mana harga rajungan pada saat itu sekitar Rp5.000 hingga Rp7.000 per kg.
Dengan berkembangnya kegiatan ekspor pada awal 2000-an, kegiatan penangkapan mulai meningkat.
Merujuk data pada 2013, ia menyebutkan harga rajungan di pabrik pengalengan sudah mencapai Rp250.000 per kg.
Kegiatan itu menyerap banyak tenaga kerja, khususnya di tempat pengolahan (mini plant).
Ia menambahkan dalam data statistik ekspor Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen P2HP) KKP komoditas rajungan dan kepiting masih digabung.
Sertifikasi ekolabel
Purwito Martosubroto menyatakan ada sejumlah kegiatan yang mendukung perikanan rajungan, di antaranya perhatian pemerintah terhadap perikanan rajungan mulai meningkat sejak tahun 2009.
Kondisi itu, antara lain didorong oleh berkembangnya sertifikasi ekolabel di negara pengimpor, di mana pembeli di AS ingin agar rajungan yang masuk ke negara itu berasal dari perikanan yang berkelanjutan.
Karena itu, lahir lah asosiasi para pengolah rajungan yang disebut APRI tahun 2007.
Kemudian APRI bekerja sama dengan LSM yaitu SFP (Sustainable Fisheries Partnership) dan pembeli dari AS memfasilitasi evaluasi terhadap perikanan rajungan (kegiatan pre-assessment) pada tahun 2009.
Hasil "pre-assessment" yang dilakukan oleh auditor Marine Resources Assesment Group (MRAG) menunjukkan bahwa perikanan rajungan masih belum layak mendapatkan sertifikat Dewan Penata Layanan Kelautan (The Marine Stewardship Council/MSC)
Dari hasil "pre-assessment" dikembangkan program FIP (fisheries improvement program) yang merupakan panduan bagi pemangku kepentingan pada tahap selanjutnya.
Sementara itu, Ketua APRI Kuncoro Nugroho dalam kesempatan itu juga mengakui perjalanan untuk mendapatkan sertifikat MSC sejak 2010 diakui masih banyak nilai "merah".
"Namun, perjalanan untuk mencapainya sudah berada pada track yang benar," katanya.
Ia menambahkan total anggota APRI hingga 2015 ini mencapai 14, yakni PT Phillips Seafoods Indonesia, PT Kelola Mina Laut, PT Mutiara Laut Abadi, PT Pan Putra Samudra, PT Bumi Menara Industri, PT Rex Canning, PT Toba Surimi Industries.
Kemudian Blue Star Foods, Handy International PT Grahamakmur Ciptapratama, PT Sumber Mina Bahari, PT Muria Bahari Indonesia, PT Siger Jaya Abadi, dan PT Prima Cakrawala Abadi.
Direktur Eksekutif APRI Dr Hawis Madduppa menambahkan seminar selama dua hari di IPB International Conventian Center (IICC) itu, yang dibuka Kepala Balitbang KKP Achmad Poernomo itu diikuti pakar, wakil pemerintah, peneliti, LSM dan wakil nelayan, khususnya dari Desa Betahwalang, Kabupaten Demak itu, pada Kamis (26/2) akan dilanjutkan dengan pembahasan khusus mengenai MSC dan juga FIP (fisheries improvement project).
Pewarta: Andi Jauhari
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015