Area konservasi di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan menjadi rumah baru bagi dua harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) yang sudah menjalani rehabilitasi itu.
Pengembalian kedua harimau sumatera itu ke habitatnya, menurut dokter hewan di Taman Safari Indonesia Bongot Huaso Mulia, menjadi begitu penting ketika penghuni hutan-hutan Sumatera itu makin menyusut populasinya.
"Ketika harimau kembali ke alam liar, seleksi dalam mangsa di bawahnya, kemudian hewan-hewan herbivora sebagai mangsa utamanya terseleksi, bahkan mempengaruhi sampai rumput," kata Bongot.
Di alam bebas, populasi predator yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan itu tinggal sekitar 400 menurut data tahun 2004.
Penurunan populasi harimau sumatera antara lain terjadi karena perburuan dan perdagangan ilegal bagian-bagian tubuh harimau, penangkapan mangsa harimau seperti babi dan rusa, dan kerusakan hutan.
"Harimau menyukai tempat di alam liar yang seluas-luasnya namun kenyataannya kerusakan hutan semakin parah. Akhirnya, membuat banyak harimau yang tersingkir dari habitatnya," jelas Bongot.
Habitat yang makin sempit dan daya dukung hutan yang makin menurun membuat harimau-harimau itu menyelinap ke perkampungan untuk mencari mangsa, dan kadang tersesat, serta bertemu manusia yang sesungguhnya paling dia hindari.
Tanpa upaya perlindungan bermakna, raja hutan yang elegan dan pemalu itu lama-lama bisa tersingkir dari singgasananya.
Rehabilitasi Harimau Sumatera
Menjelang akhir 2007, Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) dan Taman Safari Indonesia membangun pusat rehabilitasi untuk translokasi lima harimau sumatera yang mengalami konflik dengan manusia di Aceh.
Harimau sumatera bernama Pangeran, Agam, Ucok, Panti, dan Buyung itu kemudian menjalani rehabilitasi di bawah pengawasan para ahli dan dokter satwa. Pada Juli 2009, satu harimau sumatera dari Jambi bernama Salma bergabung dengan mereka.
Di pusat rehabilitasi yang luasnya satu hektare, ada kandang-kandang tempat harimau tinggal dan area seluas setengah hektare tempat mereka memburu pakan hidup yang disediakan.
"Di sini kami harapkan memunculkan sifat alami harimau segera dan konsisten. Di sini mereka juga tidak boleh sering berinteraksi dengan manusia," tutur Bongot.
Pelepasliaran harimau-harimau yang telah menjalani rehabilitasi pertama dilakukan 22 Juli 2008. Dua dari lima harimau yang telah sehat, Pangeran dan Agam, dilepaskan ke alam bebas. Pada 22 Januari 2010, Panti dan Buyung menyusul.
Pada awal Oktober 2011, Panti terlihat lagi di sekitar pusat rehabilitasi TWNC, telapak kakinya terluka. Tim perawat TWNC kemudian menangkap Panti dan merawat lukanya.
Setelah sekitar tiga minggu menjalani perawatan, Panti yang sedang hamil melahirkan tiga anak yang diberi nama Bintang, Topan, dan Petir pada 26 Oktober 2011. Panti dilepasliarkan kembali bersama Petir pada 3 Maret 2015.
"Pelepasliaran harimau merupakan proses yang panjang, ada proses seleksi, verifikasi, dan parameter-parameter khusus yang harus diamati perawat satwa, apakah harimau menunjukkan sifat potensial individu yang layak dilepas," jelas Bongot, dokter hewan yang fokus mempelajari binatang karnivora itu.
Menurut Bongot, pengamatan antara lain dilakukan pada bagaimana harimau menangkap mangsa, makan, dan bereaksi saat bertemu manusia. Kesehatan, kondisi fisik dan perkembangan reproduksinya juga diamati.
Pengawasan adalah kunci
Populasi harimau sumatera di TNWC cenderung terus meningkat. Dengan total 31 harimau sumatera, area itu menjadi kawasan konservasi dengan populasi harimau sumatera paling padat di Asia Tenggara.
"Ada tren peningkatan populasi harimau sumatera di Tambling saat di tempat lain terjadi kepunahan," kata Kepala Bagian Konservasi TWNC Ardi Bayu Firmansyah.
Menurut Bayu, pengamanan kawasan merupakan kunci utama dalam menjaga area konservasi dari kerusakan.
Pasukan keamanan yang terdiri atas 74 personel rutin melakukan patroli secara bergantian di seluruh kawasan TWNC, memastikan tidak ada kegiatan ilegal yang bisa merusak habitat dan mengancam keselamatan satwa-satwa yang dilindungi.
Tim konservasi bergerak bersama mereka untuk melakukan pengamatan dan identifikasi flora dan fauna di kawasan itu.
"Dengan mengamankan wilayah, secara tidak langsung mengamankan flora dan fauna yang ada di dalamnya. Karena hutan secara alami bisa memulihkan diri sendiri, yang paling utama jauh dari jangkauan manusia," kata Bayu.
Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015