"Film sebagai soft propaganda belum dipahami pemerintah," ujar Eros pada Antara News di Film and Art Celebration 2015 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (29/3).
Pentingnya film sudah disadari oleh negara-negara lain, misalnya Amerika Serikat. Eros menuturkan, ketika Indonesia melarang masuknya film AS, negara adidaya itu mengancam memberi sanksi dan melarang ekspor Indonesia. Padahal, lanjut dia, nilai pemasukan dari film bagi AS tidak sebesar sektor-sektor lain.
"Karena film itu penting bagi Amerika, bisa mencuci otak kita semua, mempengaruhi selera kita," jelas adik kandung aktor Slamet Rahardjo itu.
Lewat pengaruh film Hollywood, misalnya, selera masyarakat pun menjadi kebarat-baratan sehingga gaya hidup dari Amerika Serikat seperti pakaian dan makanan diadaptasi dengan mudah. Secara otomatis produk-produk dari Amerika Serikat pun laris manis di sini.
Pemerintah Korea Selatan juga punya strategi mengemas budaya secara terintegrasi. Dunia akhirnya mengenal Korea dari berbagai sudut, mulai dari musik, film, artis, makanan, hingga teknologi.
"Korea Selatan tahu bahwa entertainment bisa masuk ke jantung masyarakat kebanyakan," kata sutradara Tjoet Nja' Dhien itu.
Melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang tepat, di mana Eros menambahkan hal itu belum terwujud, film Indonesia dapat menjadi salah satu andalan mempertebal devisa negara. Sayangnya, itu masih menjadi angan-angan.
"Kita belum punya konsep membangun film secara terintegrasi. Policy kita apa sih? Tidak jelas film kita mau dikemanain," imbuh dia.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015