Kisah pilu korban bom atom Hiroshima

12 April 2015 14:17 WIB
Kisah pilu korban bom atom Hiroshima
Burung merpati terbang di atas Taman Peringatan Perdamaian saat upacara peringatan 67 tahun jatuhnya bom atom di Hiroshima, Senin (6/8). (RETUERS/Kyodo)

Jika kita melupakan Hiroshima, maka dunia akan menjadi tempat yang berbahaya"

Hiroshima (ANTARA News) - Hiroshi Harada mengenang satu peristiwa ketika kakinya terantuk pada salah satu mayat yang menutup sebuah jalan sempit di Hiroshima 70 tahun silam, saat dia berlari menghindari api yang menyebar dari bom atom.

"Kaki saya terperosok masuk salah satu mayat itu. Sulit sekali menarik keluar kaki saya.  Untuk menyelamatkan diri, saya tak punya pilihan," kata Harada, yang kini berusia 75 tahun dan mantan kepala museum bom atom.

Lalu, seorang perempuan meraih kaki dia yang saat itu berusia 6 tahun, lalu meminta air. Dia mundur karena ngeri mendapati bongkahan daging yang berasal dari tangan si perempuan menempel pada kakinya.

Ketika dunia memperingati 70 tahun serangan nuklir pertama di dunia itu, banyak penyintas masih merasakan terlalu sakit untuk membicarakannya.

Namun beberapa di antara mereka berusaha membagi pengalaman mengerikan mereka itu kepada generasi muda.

"Jumlah penyintas akan semakin menipis dan suara mereka semakin pelan," kata Harada. "Namun Hiroshima perlu terus mengirimkan pesan kepada dunia bahwa hal seperti ini tak boleh lagi terjadi."

Para penyintas Hiroshima kerap menahan diri untuk menceritakan pengalamannya kepada anak cucu mereka.

Beberapa dari mereka merasa pengalaman di masa lalu itu terlalu seram untuk diceritakan, sedangkan beberapa lainnya mengkhawatirkan diskriminasi terhadap mereka dan anak cucu mereka.

Peringatan tahun ini bersamaan dengan upaya Perdana Menteri Shinzo Abe dalam melonggarkan tekanan pada Jepang pasca Perang Dunia, dengan UUD yang pasifis dalam soal militer.

Banyak yang mengkritik upaya Abe ini akan mengantarkan Jepang kembali ke jalur yang salah, sedangkan yang mendukung, beralasan bahwa itu diperlukan untuk mencegah ancaman yang terus membesar di kawasan.

Perasaan malu

Sebuah pesawat pembom AS menjatuhkan bom atom di  Hiroshima pada 6 Agustus 1945.  Sampai tahun 1945 berakhir, 140.000 orang tewas gara-gara bom atom, padahal kota ini sebelumnya berpenduduk 350.000 orang.

Kota itu masih dihuni oleh 60.000 penyintas bom atom namun rata-rata usia mereka sudah mendekati 80 tahun.

Amerika Serikat menjatuhkan bom atom kedua di Nagasaki, tiga hari setelah bom atom di Hiroshima. Jepang kemudian menyerah pada 15 Agustus 1945.

Beberapa saat setelah pemboman itu, Shigeo Ito yang berusia 15 tahun bergegas ke rumahnya. Di tengah jalan dia dimintai tolong oleh seorang wanita yang hendak mengeluarkan seseorang yang terjebak di dalam rumahnya yang ambruk.

Ito mengabaikan seruan minta tolong itu karena dia sedang berpacu dengan api yang bergerak mendekati jembatan. Dia perlu bersegera menyeberang untuk mencapai rumahnya.

"Sejak itu saya tidak bisa menghilangkan rasa malu pada diri sendiri, ketika setiap waktu saya menatap jembatan itu," kata Ito yang kini berusia 84 tahun dan sekarang mengajari anak-anak soal pengalamannya yang mengerikan itu.

Shuntaro Hida (98), bertugas sebagai dokter tentara pada saat pemboman terjadi.

Saat pertama kali keluar setelah bom atom dijatuhkan, dia melihat seorang wanita yang sempat dia kira compang-camping karena pakaian yang dikenakannya. Ternyata dia baru menyadari itu bukan karena  pakaian, melainkan karena kulit tubuh yang terkelupas.

Bagi Hida, kengerian nyata dari serangan nuklir itu malah adalah dampak kesehatan yang tidak terlihat.

"Aspek paling kejam dari serangan nukjlir adalah bukan kehancuran biadab tubuh manusia atau luka yang terlihat, melainkan kehidupan setelah dampak kehancuran itu," kata  Hida yang menolong sekitar 10.000 penyintas bom atom.

Setelah lima tahun pemboman itu di Hiroshima semakin banyak orang yang mengeluh karena terserang leukaemia.

Fumiaki Kajiya (76), kehilangan saudarinya karena ledakan bom atom. Orang tuanya sedianya pindah ke pedesaan untuk menyelamatkan dia, namun sebelum pemboman terjadi, mereka membawa kembali anak-anaknya ke kota itu, karena mengalah pada permintaan anaknya untuk tetap bersama keluarga.

Akibatnya, ibunda Kajiya menangis berjam-jam di depan patung Budha setiap 6 Agustus setiap tahun. Kajiya kini menghibur anak-anak dengan tulisan tangan demi membunuh kenangan mengerikan bom atom di masa silam.

"Jika kita melupakan Hiroshima, maka dunia akan menjadi tempat yang berbahaya," kata Kajiya.



Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015