"Mundurnya musim kemarau ini akan berpengaruh ke berbagai sektor, dari mulai pertanian hingga kesehatan," kata Staf Seksi Data dan Informasi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisikan (BMKG) Yogyakarta Indah Retno Wulan, Rabu.
Menurut dia, gangguan cuaca tersebut diakibatkan karena munculnya daerah tekanan rendah di wilayah selatan Jawa, atau Samudera Hindia.
"Akibat fenomena tersebut, di masa pancaroba ini masih terjadi penguapan yang cukup tinggi," katanya.
Ia mengatakan, dengan penguapan yang tinggi tersebut, menyebabkan curah hujan masih lebat, terutama saat siang dan malam. Pengaruh ini menyebabkan, hampir setiap hari DIY turun hujan.
"Ada potensi musim kemarau akan datang terlambat," katanya.
Ia mengatakan, prediksi awal di wilayah DIY akan mengalami kemarau pada akhir April hingga awal Mei.
"Prediksi ini bisa berubah, di utara DIY seperti Sleman, baru mengalaminya di akhir Mei," katanya.
Namun demikian, kata dia, pihaknya akan terus melakukan pemantauan dan diharapkan gangguan cuaca ini bisa segera hilang dan kembali normal.
"Karena akan berdampak pada banyak sektor, kalau cuaca tidak normal. Dari pertanian seperti penanaman tembakau oleh petani harus mundur. Karena tanaman ini jika terkena hujan sekali saja, bisa rusak," katanya.
Kemudian, berdampak juga pada sisi kesehatan. Dengan masih banyaknya curah hujan seperti ini, maka jentik nyamuk Aedes Aygepti yang menyebabkan penyakit demam berdarah dengeu (DBD) masih mudah berkembang biak.
Sedangkan mengenai fenomena hujan es yang terjadi pada Rabu (22/4) siang kemarin, itu memang dari awan Comulunimbus (Cb).
"Tepatnya dialami di Berbah, Sleman. Itu karena awan Cb yang radiusnya sangat pendek, sekitar dua kilometer saja dan terjadi sangat lokal sekali," katanya.
Menurut dia, awan Cb yang mengakibatkan hujan es tersebut sulit diprediksi. Namun, tidak terlalu berdampak apa-apa.
"Kalau awan Cb yang menyebabkan hujan biasa, radiusnya sekitar sepuluh kilometer," katanya.
Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015