Kepalang basah, malu dan takut pulang, maka ia pun tinggal di kota besar, hidup terlunta-lunta mencari pekerjaan untuk bertahan hidup dari pekerjaan-pekerjaan bidang pertanian, satu-satunya pekerjaan yang dimengerti dan ditekuninya.
Ia berpindah-pindah pekerjaan hingga membuka bengkel yang kelak menjadi cikal-bakal keberhasilannya sebagai industriawan otomotif terkemuka di negerinya.
Situasi politik dan perang telah menciptakan jarak antara kampungnya di utara dan kota tempatnya menjalani hidup di selatan.
Ia tidak bisa pulang bukan saja karena malu dan takut, tetapi juga karena garis politik yang memisahkan kedua wilayah itu.
Kisah ini mungkin sudah sering diceritakan dan disiarkan di berbagai media sebagai kisah sukses pendiri pabrik mobil Hyundai di Korea Selatan.
Namun ketika pemandu wisata Hye Min Yoon mengisahkannya dengan penuh perasaan dalam perjalanan menggunakan bus ke perbatasan Korea Selatan dan Utara pada April lalu, para penumpang serius mendengarkan kisahnya. Suasana menjadi senyap saat dia bercerita.
Korea Selatan dalam dua dekade terakhir berkembang menjadi negara yang makmur dan maju pesat. Pengaruhnya mendunia sampai muncul istilah "gelombang Korea".
Sementara kampung asal si pemuda dalam kisah itu di wilayah Korea Utara, hingga kini menjadi daerah yang dipandang tertutup serta sulit dijangkau, bahkan oleh pria sukses itu, sampai Presiden Kim Dae Jung menerapkan kebijakan luar negeri yang disebut sunshine policy terhadap Korea Utara pada 1998.
Kebijakan luar negeri Kim Dae Jung berhasil meluweskan hubungan negara yang terpisah oleh ideologi politik sejak akhir perang Korea 1953 itu.
Hyundai pun mendapat berkesempatan untuk "menebus dosa" ke keluarga dan kampungnya, antara lain dengan mengirim 1.001 sapi dan berbagai bantuan lain, meskipun hubungan Korea Utara dan Selatan belumlah mencair seperti yang diharapkan oleh warganya.
"Dulu, saat saya kecil, kami diajarkan dengan hal-hal yang menakutkan mengenai orang Utara, tetapi anak-anak sekarang sudah tidak mengalaminya," ucap Hye Min Yoon.
Kini, setiap pekan, dari hari Selasa hingga Sabtu, banyak rombongan wisatawan mengunjungi perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan, salah satunya di kawasan Demiliterisasi Panmunjom.
Rombongan wisatawan yang dipandu oleh biro perjalanan berizin khusus itu dapat memasuki kawasan perbatasan, bahkan diterima dengan tangan terbuka oleh pasukan militer dari negara netral di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapat penjelasan singkat dan mengambil foto dengan waktu dan wilayah yang sangat terbatas.
Apa yang menarik di perbatasan? Sebenarnya, wisatawan ingin melihat Korea Utara yang dikenal sebagai negara tertutup, yang konon sulit dikunjungi orang luar, tetapi yang tersedia hanyalah hamparan luas perbatasan dengan dua perkampungan Utara dan Selatan serta kawasan Industri Kaesong yang terlihat sama hampir di batas cakrawala.
Pertengahan April, musim semi, serombongan wisatawan asing dan anak-anak sekolah dari Selatan mengunjungi batas wilayah di Paju dan Panmunjom yang berjarak sekitar 1,5 jam dengan mobil dari kota Seoul.
Mereka hanya dapat menikmati sejumlah monumen, toko cenderamata, kafetaria dan meneropong ke seberang.
"Saya ingin melihat-lihat dan membeli cenderamata," tutur seorang perempuan muda dari Seoul yang sedang berwisata untuk pertamakalinya ke DMZ bersama rombongan. Ia tidak bersedia menyebut namanya kepada Antara yang menemuinya di Paju.
Rasa ingin tahu tentang Korea Utara tidak akan banyak terobati hanya dengan mengunjungi Demilitarized Zone (DMZ) dan meneropong ke arah perkampungan Korea Utara Kijeongdong yang tampak samar-samar di kawasan perbukitan, juga desa perdamaian milik Korea Selatan Taeseongdong dan kawasan industri Kaesong.
Satu-satunya negeri terbelah
Korea kini merupakan satu-satunya negara yang masih terpisah akibat perang, setelah negara-negara lain yang terpisah seperti Jerman Timur dan Barat serta Yaman Utara dan Selatan bersatu.
Perundingan mengenai penyatuan kedua Korea, satu negara yang terbagi menjadi Korea Utara dan Korea Selatan sejak akhir perang Korea 1950-1953, sudah kerap dilakukan.
Tapi mungkinkah kedua Korea bisa bersatu menjadi satu negeri kembali? Kapan? Itu masih menjadi pertanyaan yang sulit dijawab.
Konferensi Wartawan Sedunia di Korea Selatan pertengahan April lalu mengupas masalah tersebut dengan menghadirkan sejumlah pembicara.
Konferensi itu diselenggarakan bertepatan dengan tahun peringatan 70 tahun kemerdekaan Korea atas penjajahan Jepang dan akhir Perang Dunia II sekaligus menandai pemisahan negara serumpun tersebut.
Wakil Menteri Luar Negeri Korea Selatan Cho Tae-yul dalam konferensi itu mengatakan kebijakan luar negeri Korea Selatan memiliki tantangan multidimensi dan berlapis-lapis.
Tantangan tersebut antara lain terkait dengan dinamika politik di wilayah Asia Barat Laut dan perubahan geopolitiknya, termasuk Tiongkok yang terlihat semakin kuat.
Kebangkitan Tiongkok memberikan tantangan baru bagi kebijakan politik Korea Selatan yang bertumpu pada hubungan Korea Selatan-Amerika Serikat, tetapi sekaligus juga membuka peluang-peluang baru, kata Cho Tae-Yul.
Hubungan antara Korea Selatan dan Jepang sebagai negara tetangga yang pernah berusaha menaklukkan Korea masih terganjal oleh kebijakan politik luar negeri Jepang, antara lain yang berhubungan dengan permohonan maaf atas kekejaman masa perang, kasus wanita penghibur, bahkan sampai soal pelajaran sejarah di sekolah-sekolah Jepang yang menurut Korea Selatan belum tepat.
Krisis hubungan Rusia dan Ukraina juga memberi tantangan tersendiri bagi diplomasi Korea Selatan.
Ganjalan pemulihan hubungan kedua Korea, menurut Cho Tae-yul, adalah sikap Korea Utara yang masih mempertahankan kebijakan senjata nuklirnya.
Situasi kemanusiaan di Utara juga menjadi perhatian dan keprihatinan di Korea Selatan.
Kapitalisme di Korea Utara
Andrew Salmon, wartawan senior dari Inggris yang menjadi salah seorang pembicara dalam konferensi, mengatakan Korea Utara sebenarnya secara perlahan-lahan mulai "terbuka", bukan melalui jalur politik, melainkan melalui pintu ekonomi dan perdagangan.
"Korea Utara sebenarnya sedang berubah menjadi negara kapitalis, pasarnya berkembang dan transaksi memakai mata uang internasional," kata Andrew Salmon yang sudah puluhan kali keluar masuk Utara untuk melakukan liputan.
Menurut dia, pendapat yang menyebut Korea Utara sebagai negara komunis yang tertutup dan kaku sudah kuno.
"Perlahan-lahan Utara akan semakin terbuka, melalui perdagangan dan komunikasi global," ujarnya.
Pandangan seperti ini pernah diungkapkan seorang wartawan perempuan asal Tiongkok dalam suatu konferensi internasional yang menyebut pemberitaan mengenai Korea Utara didominasi media Barat yang telah memberikan stigma pada negeri itu.
"Saya menempuh pendidikan selama tujuh tahun di negara tersebut dan melihat Utara dari sisi berbeda," tuturnya pada akhir November 2014.
Banyak warga Korea Selatan yang rindu untuk bertemu kembali dengan keluarga mereka yang terpisah oleh batas politik, tetapi bagi generasi muda, masalah ini sepertinya bukan menjadi "persoalan besar", tercermin dari jawaban-jawaban yang terdengar santai atas pertanyaan mengenai penyatuan kembali negerinya.
"Oh tentu akan baik bila bisa bersatu," ujar wisatawan muda di Paju dengan senyum, sementara tangannya menggenggam beberapa cenderamata khas perbatasan kedua Korea.
"Tetapi kalau menjadi negara komunis bagaimana ya...?" ujar pria di sebelahnya menutup pembicaraan singkat dengan Antara dalam Bahasa Inggris yang fasih.
Oleh Maria D Andriana
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015