Jakarta (ANTARA News) - Lembaga International Council for Local Environmental Initiatives (ICLEI) yang bergerak di bidang pengembangan kawasan perkotaan global menyoroti masih tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) yang ada di kota-kota di Indonesia.Masih besarnya ketergantungan kota-kota di negara berkembang pada bahan bakar fosil menyebabkan besarnya kontribusi emisi GRK dari kegiatan di kawasan perkotaan yang dapat mencapai 40-70 persen total emisi global,"
"Masih besarnya ketergantungan kota-kota di negara berkembang pada bahan bakar fosil menyebabkan besarnya kontribusi emisi GRK dari kegiatan di kawasan perkotaan yang dapat mencapai 40-70 persen total emisi global," kata Country Manager ICLEI Indonesia Irvan Pulungan, dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat.
Menurut Irvan Pulungan, hal itu harus segera dihentikan mengingat pertambahan konsentrasi emisi GRK di atmosfer akan berdampak pada peningkatan suhu global yang akan menggiring manusia dalam situasi katastrofik.
Untuk itu, ujar dia, pembangunan kawasan perkotaan yang rendah emisi karenanya harus segera menjadi "mainstream" (arus utama).
Berdasarkan data PBB, pada tahun 2008 untuk pertamakalinya lebih dari setengah penduduk dunia tinggal di kawasan perkotaan, yakni sebesar 54 persen dari total populasi global.
ICLEI memprediksi bahwa pada tahun 2050 populasi manusia yang tinggal di kawasan perkotaan akan mencapai angka 6 miliar orang dari total populasi sebesar 9,6 miliar orang.
Sedangkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan, populasi Indonesia pada 2025 akan tinggal di kawasan perkotaan.
Sementara itu, Kepala Advokasi Kebijakan Global ICLEI World Secretariat, Yunus Arikan, menyatakan bahwa kota selama ini terpinggirkan dari perundingan-perundingan global perubahan iklim.
Hal itu, ujar Yunus, mengakibatkan inovasi yang dilakukan oleh kota relatif tidak mendapatkan pengakuan, sehingga akses kota untuk mendapatan dukungan teknis dan pendanaan pembangunan rendah emisi menjadi semakin terbatas.
Sebagaimana diwartakan, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.2 Tahun 2015 terkait bangunan gedung hijau atau ramah lingkungan penting diterapkan berbagai pihak terkait guna mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di Tanah Air.
"Implementasi peraturan bangunan gedung hijau membutuhkan peran aktif berbagai pihak agar dapat diselenggarakan dengan tertib," kata Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Investasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Ridho Matari Ichwan di Jakarta, Rabu (6/5).
Menurut dia, salah satu inovasi dalam peraturan menteri tersebut antara lain mengedepankan peran pemerintah daerah sebagai pembina penyelenggaraan bangunan gedung hijau atau ramah lingkungan di daerahnya, khususnya dalam pemeriksaan bangunan gedung hijau dan sertifikasi.
Pewarta: Muhammad Razi Rahman
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015