Jangan sepelekan alergi pada anak

18 Mei 2015 05:04 WIB
Jangan sepelekan alergi pada anak
ilustrasi. (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)
Jakarta (ANTARA News) - Isnaini (29) masih ingat betul saat ia mengalami alergi debu yang sangat parah, terasa gelap, nafasnya sesak dan rasanya seperti mau mati.

Ia memang mengidap alergi debu sejak kecil, tapi tak pernah separah itu, biasanya hanya bersin-bersin. Isna langsung dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan intensif.

"Suami saya juga punya riwayat alergi. Kedua anak saya pun punya "bakat" alergi. Alergi memang sepele, tapi mematikan," ujar Isna di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sampai saat ini, banyak masyarakat yang masih menyepelekan alergi pada anak. Padahal jika dibiarkan, tidak hanya mengganggu kualitas hidup anak tetapi juga nyawanya.

Hasil kajian International Study of Asthma and Allergies in Childhood, semakin banyak anak-anak yang terkena alergi, termasuk di Asia Pasifik.

Bahkan di Tanah Air, angka kejadian penyakit alergi semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Ketua Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr dr Zakiudin Munasir SpA(K) mengatakan alergi merupakan reaksi yang menyimpang terhadap berbagai rangsangan dari luar tubuh misalnya terhadap makanan, debu, obat-obatan dan sebagainya.

"Penyakit alergi hanya mengenai anak yang mempunyai bakat alergi yang disebut atopik," jelas Zaki dalam diskusi media "Morinaga Allergy Week".

Alergi diturunkan oleh salah satu atau kedua orangtuanya. Alergi juga dapat terjadi pada bayi, yang terpapar asap rokok sejak dalam kandungan, terpapar polusi dan tidak mendapatkan ASI.

Setiap tahun, prevalensi alergi meningkat terutama di kota besar.

Jika kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi, maka persentase potensi anak terkena alergi sebanyak lima hingga 15 persen.

Kemudian jika saudara kandungnya memiliki riwayat alergi, maka anak tersebut mempunyai persentase potensi alergi sebesar 25 hingga 30 persen.

Jika salah satu orang tua memiliki riwayat alergi, maka persentase potensi anak terkena alergi sebesar 20 hingga 40 persen.

"Selanjutnya, jika kedua orang tuanya memiliki riwayat alergi, maka potensi anak mengidap alergi 60 persen hingga 80 persen," terang dia.

Alergi makanan merupakan salah satu masalah alergi yang umumnya terjadi pada anak. Hampir semua makanan pada dasarnya dapat menimbulkan alergi.

"Tapi setiap makanan, mempunyai derajat alergen berbeda."

Hasil uji kulit yang dilakukan oleh Poli Alergi-Imunologi bagian IKA FKUI-RSCM pada 69 anak yang menderita asma karena alergi, sebagian besar alergi karena kepiting (45,31 persen), udang kecil (37,53 persen), dan cokelat (26,56 persen).

Alergi makanan bisa diobati dan dicegah dengan menghilangkan makanan penyebab alergi, mengganti makanan yang senilai untuk mencegah kekurangan nutrisi, pemberian ASI ekslusif, menghindari asap rokok saat hamil dan menyusui, serta mengkonsumsi probiotik.

Berisiko tinggi

Ahli dari Rumah Sakit Henry Ford, Dr Christine Cole Johnson, menyebut bayi yang dilahirkan melalui operasi caesar berisiko tinggi menderita alergi dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan secara normal. Paparan bakteri pada jalan lahir adalah faktor yang berpengaruh besar pada sistem kekebalan bayi.

Saat ini, berbagai penyakit alergi seperti asma, rhinitis, alergi makanan diderita 40 persen dari total populasi dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan prevalensi asma akan mencapai 400 juta orang pada 2025 dan sekitar 50 persen di antaranya diperkirakan menderita alergi makanan.

Sementara, Badan Alergi Dunia atau World Allergy Organization (WAO) memperkirakan bahwa 1,9 persen hingga 4,9 persen anak-anak di dunia menderita alergi protein susu sapi.

Ketua Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof DR Dr Budi Setiabudiawan SpA(K) MKes, mengatakan penyakit yang timbul akibat alergi sering tidak dikenali gejalanya, tapi bisa ditangani secara medis.

"Orang tua harus mengenali gejala alergi pada anaknya," kata Budi.

Data dari Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Susu Sapi rekomendasi IDAI pada 2014, menunjukkan bahwa satu dari 13 anak menderita alergi susu sapi.

"Meskipun sering ditemui alergi tidak bisa diketahui dengan kasat mata."

Budi menjelaskan alergi susu sapi merupakan suatu reaksi yang tidak diinginkan yang diperantarai secara imunologis terhadap protein susu sapi.

Alergi tersebut berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh antibodi imunoglobulin E (IgE mediated). Juga diakibatkan oleh reaksi imunologis yang tidak diperantarai oleh IgE ataupun proses gabungan antara keduanya (non-IgE mediated).

Gejala yang terjadi pada 30 menit pertama setelah mengonsumsi susu adalah ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, angioderma, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis.

Selain itu, pada tiga jam pertama yakni kolik, enterokolitis, anemia, dan gagal tumbuh.

"Gejala akibat alergi susu sapi itu berdampak pada sistem pencernaan, kulit dan pernafasan," kata Budi.

Jalan keluar, bagi anak yang alergi terhadap susu sapi yakni dengan menggantinya dengan susu kedelai, yang aman dan efektif bagi anak.

IDAI melakukan pencatatan nasional mengenai data alergi pada anak. Sebelumnya, IDAI menggagas kampanya "Semua dari Ingin Tahu" yang diselenggarakan pada 17-25 April lalu.

"Hal itu bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai alergi sejak dini, agar alergi tidak menghambat tumbuh kembang dan potensi si kecil. Dalam kampanye itu terdapat tiga langkah yakni tahu, cegah dan atasi, serta sebar," terang Budi.

Kepala Unit Bisnis Nutrisi Anak Kalbe Nutritional, Helly Oktaviana, menjelaskan pihaknya selaku pemegang merk Morinaga juga meluncurkan situs www.cekalergi.com untuk membantu para ibu mengetahui resiko alergi si kecil, saran nutrisi dan rujukan dokter. Pihaknya juga ingin mendidik masyarakat mengenai pentingnya pertumbuhan anak.

Oleh Indriani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015