Selain memberikan ceramah pada acara buka puasa minggu pertama bersama masyarakat Indonesia di London dan sekitarnya di Wisma Nusantara, kediaman Duta Besar RI untuk Kerajaan Inggris dan Irlandia dan Ny. Lastry Thayeb, Enha juga banyak belajar tentang kehidupan umat Islam di Inggris.
Kehadiran Ustaz Enha di Kerarajaan Inggris adalah atas undangan Pengajian Masyarakat Indonesia London dan sekitarnya yang setiap tahun mengundang ustaz dari Tanah Air untuk mengisi tausiah selama Ramadan.
Selama sebulan Enha mengisi pengajian pada akhir pekan di KBRI London dan pengajian ibu-ibu di London Indonesia Islami Centre (IIC) serta di pengajian komunitas masyarakat Indonesia di berbagai kota, seperti Oxford, Birmingham, Manchester, Sheffield, dan puncaknya menyampaikan khotbah Idulfitri 1436 Hijriah di Wisma Nusantara, Bishop Grove, London.
"Saya harus jujur mengatakan amat senang dengan perjalanan dakwah di United Kingdom ini," ujar ustad yang juga menjadi motivator keluarga kepada Antara London, Rabu.
Menurut ustaz yang pernah menjadi pejabat KUA itu, ada banyak hal yang didapatkannya selama berada di Inggris, di antaranya adalah suka duka menjadi Muslim di negeri minoritas. Meskipun Islam sudah mulai merebak di negeri ini, UK tetap saja bukan negara mayoritas Islam seperti Indonesia.
Ustaz kelahiran Jakarta, Mei 1975, mengakui banyak belajar soal toleransi dan bagaimana beragama dengan mengedepankan penghargaan atas kemanusiaan di Kerajaan Kanjeng Ratu Elizabeth II.
Saat memenuhi undangan buka puasa di keluarga Dindin Wahyudin, Atase Bidang Politik KBRI, yang tinggal di wilayah Golders Green, atau orang mengenalnya sebagai kawasan Yahudi, ia mengatakan "Masyarakat di sini sangat baik dan toleran sekali, jauh dari anggapan dan kesan zionis seperti yang sering didengar dari informasi dari televisi."
Ustaz Enha mengakui ajaran Islam itu sarat dengan "value" yang universal. "Saking universalnya, saya justru banyak menemukan nilai-nilai itu tidak di negeri-negeri Islam, tetapi di Inggris," ujar Ketua Ikatan Dai Media Nusantara.
Pertanyaannya adalah mengapa nilai-nilai itu teraplikasi dengan baik di negara sekular? Sang ustad pendiri Pengasuh Istana Yatim Jakarta pun tampak berpikir keras. "Boleh jadi karena mereka tidak sibuk dengan fadhilah," ucapnya.
Penulis beberapa buku, seperti Cahaya Tahuid, Berbeda tetapi Tetap Damai, dan Gusti Allah Mboten Sare, itu menegaskan, "Boleh jadi mereka menjalaninya karena memang sedemikian itu harusnya kita juga melakukan, bukan karena iming-iming ganjaran."
Ustaz pun terkesima dengan kebaikan sikap orang Inggris. "Kalau soal penataan kota dan kebersihan serta sikap disiplin para pengguna jalan, saya rasa masyarakat Inggris menerapkan nilai-nilai keislaman yang baik," ucapnya.
Ia pun menyaksikan keindahan kota London dan berkunjung ke objek wisata, seperti Istana Ratu, jam gadang Bigban, gedung parlemen dan Kantor Perdana Menteri Dowining Street serta central Masjid Regent Park. Hal ini seperti bertolak belakang mengingat semrawutnya beberapa kota di negeri-negeri Muslim.
Indonesia meskipun bukan negara Islam, menurut dia, mayoritas beragama Islam, terkadang memandang sesama saudara dengan pandangan kebencian. Belum lagi, tuduhan sesat dan cacian di media, seperti bukan produk agama hanif seperti Islam.
Menurut Pendiri Super Family Consulting pun mengingat jelas pengalaman yang nyaris sama seorang guru besar, mantan Rektor Universitas Al-Azhar Kairo Syekh Mohammad Abduh ketika berkunjung ke Paris lebih satu abad lalu (1884).
Di sana sang guru besar menyaksikan betapa kota Paris indah dan bersih serta teratur rapi. Lagi pula, orang-orang Paris beretos kerja tinggi, berperilaku peramah dan bersahabat. Syekh Mohammad Abduh pun berucap, "Raaytu al-Islam wa lam ara Musliman (aku lihat Islam di Paris, padahal aku tidak melihat orang Muslim)."
Galau
Ustaz Enha yang sempat berkeliling kota London menyaksikan berbagai objek wisata yang ditawarkan London kepada wisatawan yang mencapai jutaan bersama Wahyu Hansudi, pemandu wisata di Inggris, menyempatkan diri untuk Salat Zuhur di Masjid East London serta Salat Asar di Central Mosque.
Saat istirahat di Central Mosque, dia berkesempatan menyaksikan seorang syekh yang sedang menasihati jemaahnya yang sedang galau menghadapi hidup.
"Saya denger antara pesan yang disampaikan adalah mengenal Allah lebih dekat, perbanyak zikir dan amal, lalu khidmah atau melayani orang lain, berulang kali dia menyebutkan, dengan menyenangkan orang lain, Allah akan gembirakan kita," kata ustad yang punya ratusan anak yatim itu.
Ustaz Enha pun menyebutkan menyenangkan orang lain menjadi kata kuncinya seperti yang disampaikan Rasulullah.
Nabi Muhammad SAW ditanya, "Amal apakah yang paling dicintai Allah."
Beliau bersabda, "Berusaha menyenangkan hati seorang Muslim."
Mereka bertanya, "Bagaimanakah caranya menyenangkan orang Muslim?"
Rasulullah SAW bersabda, "Mengenyangkan perutnya, melepaskan kesedihannya, dan mengatasi utangnya."
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang menyenangkan hati seorang mukmin maka sesungguhnya telah menyenangkan hatiku dan barang siapa yang menyenangkan hatiku berarti telah menyenangkan Allah."
Menurut Ustaz Enha, masih banyak dalil lain tentang perintah menyenangkan orang lain. Rasulullah bahkan mencontohkan langsung, bukan hanya kepada sesama Muslim, melainkan perilaku mulia beliau diakui dan dirasakan oleh semua orang. Moralitas yang luhur itu adalan inti ajaran Islam.
Musim Panas
Menjalani ibadah puasa pada musim panas, seperti di Inggris yang waktu siang relatif cukup lama bagi sebagian orang, dirasakan cukup berat ketimbang di Tanah Air.
Pada pengajian di Indonesia Islamic Center (IIC) London, seorang peserta bertanya kepada Ustaz Enha tentang Hukum Memperpendek waktu berpuasa di London dari 19 jam menjadi 12 jam atau 14 jam.
Pertanyaan soal memperpendek waktu puasa di London, menurut dia, sebenarnya diskusi lama dan selalu muncul pada setiap menjelang Ramadan. Di Inggris, menjadi polemik, terutama setelah cendekiawan Muslim London Sheikh Dr. Usama Hasan mengusulkan mempersingkat waktu puasa.
"Bagi mereka yang tidak mampu puasa hingga matahari terbenam dan yakin dengan pendekatan nonliteral dari "pagi sampai sore" dari pada literasi "fajar sampai terbenam matahari", berpuasa hanya 12 jam atau 14--16 jam, mulai dari subuh, matahari terbit atau saat makan pagi (sarapan).
Usulan Syeikh Usamah didasarkan pada etos dan spirit Ramadan yang melahirkan kesadaran akan Tuhan, kesabaran, ketekunan, rasa syukur, doa, ibadah, amal, kemurahan hati, kerendahan hati, pemurnian diri, pengembangan diri, membantu orang lain, kasih sayang, pengampunan, menurunkan tatapan, zikir, dan kasih Allah. Jadi, bukan pada soal lama atau pendeknya waktu berpuasa.
Secara hikmah yang dirujuk dari etos Ramadan, Ustaz Enha pun memahami usulan Syekh Usamah meskipun dalam soal fikih, hikmah tidak cukup untuk menetapkan suatu perkara hukum. Harus ada landasan syari yang jelas sehingga ketenangan menjalani ibadah dapat dihadirkan.
Soal jadwal puasa dan salat, akan menimbulkan perdebatan, terutama di negeri-negeri yang mengalami kondisi geografis tak beraturan, bahkan bisa sangat ekstrem seperti wilayah yang pada bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Begitu pula, pada bulan-bulan tertentu akan mengalami sebaliknya, yaitu mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.
Inggris sebenarnya tidak termasuk wilayah ekstrem sehingga kesulitan menentukan awal dan akhir waktu puasa. Inggris dan negara seperti Belanda, Jerman, Polandia, Rusia, atau bahkan yang lebih utara, seperti Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Denmark, waktu siang lebih lama pada musim panas. Jika musim dingin, waktu siang lebih singkat daripada waktu malam.
Oleh karena itu, waktu puasa atau ibadahnya menyesuaikan waktu setempat. Pada musim panas mereka berpuasa sekitar 19 jam. Pada musim dingin mereka hanya berpuasa selama lebih kurang 7 jam.
Menurut ustaz, berpuasa di Inggris dan beberapa negara yang sejajar hendaklah tetap menyesuaikan waktu setempat. Sesuai dengan firman Allah: "Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa itu sampai malam."
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015