Jakarta (ANTARA News) - Fenomena musik religi yang kerap muncul jelang Ramadhan hingga hari raya Idul Fitri di Indonesia ternyata sudah terjadi sejak 1970-an oleh kelompok musik berbeda karakter seperti Bimbo, Koes Plus, Bintang-Bintang Ilahi, dan Nasidah Ria.Bimbo itu grup pertama yang menggarap lagu religi dalam nuansa pop yang dimasukkan dalam album umum mereka, bukan album religi secara khusus."
Hadirnya Koes Plus dan Bimbo yang mampu mengharmonisasikan syair syarat pesan dibalut notasi musik pop memberikan warna berbeda pada musik religi yang kental dengan nuansa Timur Tengah dan Melayu.
"Koes Plus yang agak bernuansa Everly Brothers (grup asal Amerika Serikat tahun 50-an) pernah mengeluarkan album religi Qasidahan Bersama Koes Plus pada awal tahun 70-an," kata Bens Leo pengamat musik Indonesia di Jakarta Selatan, Selasa.
Koes Plus pernah menciptakan tembang berjudul "Nabi Terakhir", "Karena Illahi", dan "Ya Allah" yang terdapat dalam album yang diproduksi pada 1974.
Namun grup yang beranggotakan Tonny, Yon, Yok, dan Murry itu juga pernah merilis album "Natal bersama Koes Plus" di tahun yang sama sehingga karakter Islami pada band itu pudar kendati sejarah membuktikan bahwa mereka juga pernah memproduksi lagu-lagu religi.
Pada era yang sama, tiga bersaudara Samsudin "Sam" Hardjakusumah, Darmawan "Acil" Hardjakusumah, dan Jaka Purnama Hardjakusumah yang tergabung dalam Bimbo menggubah puisi Taufik Ismail menjadi lagu yang terus diperdengarkan hingga sekarang.
Kolaborasi musisi dan penyair itu kemudian melahirkan tembang berjudul "Tuhan", "Sajadah Panjang," dan "Rindu Rasul" yang selalu terdengar di tiap bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
"Bimbo itu grup pertama yang menggarap lagu religi dalam nuansa pop yang dimasukkan dalam album umum mereka, bukan album religi secara khusus," kata Bens Leo.
Bahkan cara mereka melagukan puisi dengan irama minor yang menyentuh membuat Bimbo lebih dikenal sebagai grup pop religi, padahal grup ini juga pernah mengeluarkan lagu-lagu bertema lingkungan.
"Lagu pop religi Bimbo sangat populer dalam waktu yang begitu lama dibandingkan lagu-lagu pop mereka sendiri. Membuktikan musik mereka sangat diterima semua kalangan dari beragam usia," kata Bens.
Bintang-Bintang Ilahi dan Djamain Sisters juga pernah menjadi pemain pop religi yang menggabungkan syair agama dengan alat musik modern seperti gitar elektrik dan keyboard.
Qasidah dan dangdut
Nasyidah Ria, sekelompok musisi wanita yang membawakan lagu berirama qasidah, muncul sebagai kelompok seniman religi dengan karakter yang berbeda dengan Bimbo maupun Koes Plus.
"Perdamaian perdamaian, perdamaian perdamaian. Banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai," demikian syair berjudul Perdamaian milik Nasyidah Ria yang dipopulerkan kembali oleh band Gigi.
Tembang qasidah seperti yang dibawakan Nasyidah Ria sangat populer di Indonesia karena hanya dimainkan menggunakan alat musik rebana sehingga kerap dinyanyikan setiap kali acara pengajian.
Kentalnya ciri khas tabuhan rebana dan notasi Timur Tengah pada qasidah membuat musik ini tetap pada jalurnya dan tidak mengalami perubahan kendati tidak banyak grup qasidah yang muncul di pasaran.
Dangdut merupakan perpaduan musik Melayu, Timur Tengah dan India. Berbeda dengan qasidah, dangdut memiliki banyak aliran mulai dari dangdut rock, dangdut keroncong hingga koplo.
Dalam buku 100 Tahun Musik Indonesia, Denny Sakrie menuliskan bahwa kemunculan dangdut bermula dari masa kejayaan orkes Melayu pada 1950 lewat Said Effendi yang meniti karir sebagai penyanyi Orkes Gambus Al Wardah yang kerap terdengar di RRI pada masa itu.
Kemudian pada 1960-1970 ditandai dengan kemunculan Ellya Khadam, A Rafiq, Mashabi, dan Rhoma Irama,
menjadi titik kelahiran musik dangdut, nama aliran musik yang diambil dari efek suara gendang "dang" dan "dut".
Sejak saat itu dentuman suara Rhoma Irama dan Elvi Sikaesih si raja dan ratu dangdut itu membahana ke seluruh nusantara karena kerap diputar di radio dan televisi.
Rhoma bersama Soneta Grup kemudian mengawinkan rock lewat melodi gitar elektrik dengan notasi melayu serta syair dakwah yang sangat populer pada 1974. Bahkan sejumlah musisi pop seperti Panbers, Koes Plus, D'lloyd, dan Bimbo juga pernah menciptakan lagu bernuansa seperti itu.
Musik bahasa universal
Sejarah pop religi di Indonesia membuktikan bahwa musik merupakan bahasa universal untuk menyampaikan makna dengan iringan kreatifitas musik yang tidak terbatas dan tanpa sekat.
Kemunculan pop religi di indonesia sangat beragam jenis musik. Koes Plus dengan nuansa pop, Bimbo yang melagukan puisi, nasidah Ria yang membawakan musik kasidah kental timur tengah, dan Soneta grup yang menggabungkan rock dengan musik melayu.
Pada era 90'an solois, Ita Purnamasari Chrisye dan Trie Utami pun menyanyikan pop religi dengan gaya pop, folk, dan sudah menggunakan instrumen modern seperti orkestra.
Gigi, Ungu dan Wali yang sukses dengan tembang-tembang religi membuktikan bahwa lagu bernuansa Islami tidak terbatas pada notasi ala Timur Tengah. Mereka bisa menyampaikan makna dengan beragam notasi dan karakter.
"Tidak ada pakem tertentu dalam musik religi di Indonesia, ada yang bernuansa Timur Tengah, rock, modern rock. Kekuatannya musik religi terdapat pada lirik dan karakter para musisi yang membawakannya," kata Bens Leo.
Namun Bens menggaris bawahi bahwa perkembangan musik pop religi di Indonesia tidak akan lepas dari Bimbo yang terbukti mampu bertahan selama 40 tahun dengan syair yang mendalam dan musik pop yang bisa didengarkan semua kalangan.
"Sepanjang apapun perjalanan musik pop religi, Bimbo tetaplah pionir. Kesuksesannya, lagunya yang bertahan sangat lama, harusnya bisa dicontoh musisi sekarang untuk menciptakan lagu yang akan terus dikenang," ujarnya.
"Kendati lagu Tuhan atau Sajadah Panjang dibawakan orang lain, namun masyarakat akan ingat itu adalah lagu Bimbo," kata Bens.
Oleh Alviansyah Pasaribu
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015