"Saya kira yang paling pertama dan utama adalah, kehadiran Negara. Negara harus hadir," kata Natalius saat dihubungi ANTARA News dari Jakarta, Senin.
"Kehadiran Negara itu bisa berupa instrumen hukum yang menjamin kebebasan beragama, artinya aturan yang tidak mengekang kebebasan beragama tetapi justru memberikan ruang untuk kebebasan beragama," ujarnya menambahkan.
Selain kehadiran Negara dalam bentuk regulasi, Natalius juga menekankan betapa pentingnya menegakkan keadilan dalam bersikap di antara para pemimpin bangsa.
Sebab keadilan bersikap akan selalu menjadi hal penting yang direspon oleh masyarakat.
"Contohnya begini, ketika ada gereja dibakar pemerintah serius memperhatikan, tetapi ketika masjid dibakar pemerintah diam, saya kira itu kan masalah. Atau sebaliknya, misalkan insiden yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, yang menyebabkan mushala terbakar seluruh negara memperhatikan, tetapi ketika ada rumah ibadah lain dilarang berkegiatan atau hingga dibakar negara tidak memperhatikan, itu akan menjadi masalah," katanya.
Selain dua hal tersebut, kehadiran negara dan keadilan bersikap, Natalius juga menyoroti peran penting Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam menghidupkan toleransi serta membentuk harmoni antarumat beragama.
Menurut Natalius, selama ini FKUB belum berjalan secara optimal, terlihat dengan masih terjadinya pelarangan pembangunan rumah ibadah di sejumlah daerah di Indonesia.
"Lucunya, FKUB itu kan dikelola oleh wakil kepala daerah, sementara biasanya untuk proyek pembangunan termasuk pembangunan rumah ibadah ditangani langsung oleh kepala daerah. Ketika anggaran jadi urusan kepala daerah, sementara urusan yang berkaitan dengan ketenteraman, kedamaian warga dan lain sebagainya justru menjadi urusan wakil kepala daerah," ujarnya.
Sementara itu dari peranan masyarakat, Natalius meyakini mayoritas masyarakat Indonesia memiliki cara pandang yang cukup moderat, toleran dan menghargai sesama, bahkan faktanya hubungan kekerabatan di Indonesia sebagian besar masih berbasis etnik atau budaya ketimbang agama.
"Ikatan yang besar itu, memupuk toleransi antara yang satu dengan yang lain. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah akan selalu ada orang-orang tertentu yang kerap menjadi motor pergerakan intoleransi, aktor intelektual. Semua konflik selalu ada aktor intelektual di dalamnya," pungkas Natalius.
Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015