Washington (ANTARA News) - Kim Davis, panitera pengadilan negara bagian Kentucky di Amerika Serikat (AS) yang menolak mengeluarkan surat nikah untuk pasangan sejenis, menyatakan bahwa secara diam-diam sempat bertemu Paus Fransiskus di tengah kunjungan ke Negeri Paman Sam itu.Sebelum pergi, ia berpesan, `tetaplah kuat`."
Davis, yang sejak lahir menganut Katolik, mengatakan kepada ABC News bahwa dirinya bertemu Paus Fransiskus pada 24 September 2015 di Washington setelah menerima telefon dari pegawai Tahta Suci Vatikan.
"Sangat rendah hati bahwa ia ingin bertemu dengan saya. Sebelum pergi, ia berpesan, tetaplah kuat," kata Davis layaknya dikutip AFP.
Di Roma, juru bicara Vatikan Federico Lombardi memastikan pertemuan tersebut, namun menolak memberi tanggapan.
Davis menjadi pahlawan bagi penentang perkawinan sesama jenis di AS setelah ditahan enam hari karena menolak menerbitkan surat nikah untuk pasangan sejenis, sekalipun Mahkamah Agung AS telah mensahkan perkawinan sesama jenis di seluruh negerinya.
Ia kemudian dibebaskan setelah wakil panitera pengadilan di Kota Rowan, Kentucky, menyatakan akan mengeluarkan setifikat pernikahan tersebut.
"Saya mengulurkan tangan saya dan ia meraihnya, kemudian sambil memeluk saya, dia katakan terima kasih untuk keberanianmu," kata Davis mengenai pertemuannya dengan Paus Fransiskus.
Ia menimpali, "Menjadi sebuah semangat besar bahwa Paus tetap berada di jalurnya, bahwa dia menyetujui dan mengesahkan apa yang kita lakukan."
Dalam pertemuan di Kedutaan Besar Vatikan di AS itu, Paus memberi Davis dua kalung rosario berwarna hitam dan merah, kata pengacara Davis, Mathew Staver kepada jaringan televisi CNN.
"Orang tua Kim Davis sepanjang hidup mereka merupakan penganut Katolik, maka dia bisa memberi ayah dan ibunya rosario hadiah dari Paus," kata Staver.
Selama kunjungannya ke Washington, New York dan Philadelphia minggu lalu, Paus Fransiskus menyerukan tentang kebebasan beragama, namun tidak sekali pun menyebut nama Davis.
Dalam penerbangannya kembali ke Vatikan, Paus mengatakan pada reporter AS bahwa "protes keras merupakan bagian dari hak asasi manusia".
(Uu.Y013/B002/Rw.P003)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015