"Saya lihat dari sudut sejarah, peristiwa tersebut tambah lama menjadi tambah buram, lama-lama fakta hilang," kata Rusdhy saat dihubungi ANTARA News di Jakarta, Kamis.
Ia menilai, pengungkapan fakta jauh lebih penting daripada permintaan maaf yang didesak dilakukan pemerintah oleh sejumlah pihak.
"Yang terjadi sekarang tinggal efek dan akibatnya, bukan kejadiannya. Kalau diungkapkan (faktanya) itu perlu," ujar Rusdhy.
Sementara itu, terhadap peristiwa G30S, Setara Institute mengingatkan bahwa apapun latar belakang peristiwa tersebut, yang terjadi adalah kejahatan kemanusiaan terhadap warga negara yang dilakukan oleh negara. Sehingga, negara harus memperlakukan sama peristiwa tersebut dengan pelanggaran HAM masa lalu, dan karena itu perlu mengambil prakarsa yang nyata. "Memenuhi hak korban peristiwa G30S bukanlah bentuk pengampunan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang sering disalahartikan oleh banyak pihak," kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi.
Ia menambahkan bahwa meminta maaf dan memulihkan hak-hak korban 1965 adalah kewajiban negara. Bukan untuk PKI tetapi untuk warga negara yang menjadi korban ketegangan politik masa lalu. Tanpa penyelesaian yang adil, lanjutnya, peristiwa tersebut akan menjadi beban sejarah berkelanjutan.
"Permintaan maaf oleh pemerintah dengan mengatasnamakan negara adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh negara sebagai bagian dari kewajiban untuk melindungi segenap warga negara. Permintaan maaf negara kepada korban adalah permintaan maaf negara atas kegagalannya melindungi warga negara di masa lalu," ungkap Hendardi.
"Permintaan maaf negara jangan disalahartikan permintaan maaf kepada kelompok atau lembaga tertentu. Tetapi, permintaan maaf tidak menggugurkan kewajiban negara mengungkapkan kebenaran sebuah peristiwa dan kewajiban memulihkan hak-hak korban. Permintaan maaf adalah suatu proses terpisah dari upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu," tuturnya.
Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015