Ketika diversifikasi pangan jadi kearifan lokal

11 Oktober 2015 19:48 WIB
Ketika diversifikasi pangan jadi kearifan lokal
Kegiatan makan umbi-umbian (ANTARA FOTO/Budi Candra Setya)

Kita ingin budaya masyarakat yang mengonsumsi bahan makanan lokal, tidak tergantikan oleh nasi sehingga ketika terjadi kelangkaan beras, masyarakat Wakatobi tidak mengalami krisis pangan."

Kebijakan diversifikasi pangan yang digulirkan pemerintah pusat, bukan hal baru bagi kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra), terutama masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil, seperti Wakatobi, Buton, dan Muna.

Mulai dari nenek moyang, masyarakat di wilayah pulau-pulau kecil tersebut telah menerapkan diversifikasi pangan dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak tergantung pada satu jenis makanan, tetapi beragam jenis.

Ubi kayu, jagung, dan umbi-umbian menjadi bahan makanan utama bagi masyarakat di wilayah kepulauan tersebut karena hanya jenis tanaman tersebutlah yang cocok dengan kondisi geografis pulau yang sebagian besar terdiri atas tanah tandus dan berbatu.

"Mulai dari leluhur, kami masyarakat di Wakatobi sudah akrab mengonsumsi ubi kayu, jagung, dan umbi-umbian. Makanan jenis nasi, hanya dikomsunsi pada saat hari-hari besar keagamaan atau pesta adat," kata tokoh masyarakat Wakatobi Nursalam Lada di Kendari, Jumat (9/10).

Sekarang pun, lanjut dia, sebagian besar masyarakat Wakatobi masih tetap menjadikan ubi kayu, jagung dan umbi-umbian seperti ubi jalar, keladi, dan uwi sebagai bahan makanan utama.

Bahkan, pada setiap kesempatan acara resmi yang digelar Pemerintah Kabupaten Wakatobi, sajian menu makanan selalu terbuat dari beragam jenis bahan makanan.

"Di acara resmi apa pun di Wakatobi, semua jenis makanan, (nasi, kasuami, kapusu nosu dan kambalu, selalu menjadi sajian utama. Para tamu undangan, terutama dari luar Wakatobi tinggal memilih jenis makanan sesuai dengan selera," katanya.

Kasuami, menurut Nursalam yang juga Wakil Ketua DPRD Provinsi Sultra itu, merupakan jenis makanan berbahan baku ubi kayu yang diparut, lalu dikukus, sedangkan kapusu nosu adalah jenis makanan terbuat dari jagung yang dibuang kulit arinya, lalu dimasak pakai santan kelapa.

Sementara kambalu merupakan jenis makanan berbahan uwi yang diparut, kemudian dibungkus daun kepala seperti lapa-lapa lalu dimasak.

"Kita masyarakat Wakatobi mengonsumsi ketiga jenis makanan itu menggunakan lauk berbagai jenis ikan dan sayur daun kelor dicampur pepaya, bayam, kangkung, bunga pepaya, atau sayur nangka dan lain-lain," katanya.

Kearifan lokal

Menurut Nursalam, setiap kenaikan harga beras dan berbagai jenis kebutuhan pokok lainnya, tidak terlalu membawa dampak buruk bagi masyarakat Wakatobi.

Hal itu, kata dia, karena semua bahan makanan utama, termasuk lauk-pauk, seperti ikan, cukup tersedia di Wakatobi.

"Masyarakat Wakatobi baru merasakan dampak ekonomi yang luar biasa kalau harga BBM yang naik. Ketika harga BBM naik, ongkos transportasi juga akan naik sehingga harga barang yang berasal dari luar Wakatobi akan mengalami penaikan," katanya.

Dalam upaya melindungi kearifan lokal, masyarakat yang mengonsumsi beragam jenis makanan, Pemerintah Kabupaten Wakatobi sejak setahun terakhir sudah menetapkan satu hari tanpa nasi dalam seminggu.

"Kita ingin budaya masyarakat yang mengonsumsi bahan makanan lokal, tidak tergantikan oleh nasi sehingga ketika terjadi kelangkaan beras, masyarakat Wakatobi tidak mengalami krisis pangan," katanya.

Sinonggi
Sementara itu, masyarakat yang mendiami wilayah daratan Sultra menjadikan sinonggi sebagai makanan pokok karena jenis tanaman tersebut relatif banyak tumbuh di daratan Sultra, terutama di daerah rawa.

Sinonggi merupakan makanan berbahan baku utama tepung sagu yang relatif sangat mudah dibuat.

Caranya, tepung sagu dilarutkan lebih dahulu dengan air dingin, lalu disiram dengan air panas, kemudian diaduk-aduk. Hanya kurang lebih lima menit diaduk, tepung sagu sudah bisa menjadi sinonggi dan siap disantap.

"Mosonggi atau makan sinonggi paling enak menggunakan air kuah siput dari sungai atau air kuah ikan. Akan tetapi, pada dasarnya sinonggi dapat dikonsumsi menggunakan air kuah apa saja, termasuk kuah berbagai jenis sayur," kata warga Kendari Muhlis.

Menurut dia, mulai dari leluhur masyarakat Tolaki, hanya menjadikan dua jenis makanan, beras dan sagu sebagai bahan makanan utama, sedangkan jenis makanan ubi kayu, jagung, dan umbi-umbian, hanya sebagai bahan makanan pelengkap.

Sekarang pun, kata dia, masyarakat Tolaki yang bermukim di pelosok-pelosok desa masih tetap menjadikan kedua jenis makanan tersebut sebagai bahan makanan pokok.

Sinonggi jadi bahan makanan utama di dalam keluarga, sedangkan nasi menjadi makanan utama di dalam pesta perkawinan atau hajatan lain oleh sebuah keluarga.

"Mengonsumsi sinonggi yang terbuat dari sagu, jauh lebih murah daripada mengonsumsi nasi dari bahan beras. Satu liter sagu yang harga hanya Rp2.000,00, bisa mencukupi kebutuhan 10 sampai 15 orang, sedangkan 1 liter beras hanya cukup untuk tiga atau empat orang," katanya.

Itu sebabnya, kata dia, masyarakat Tolaki hingga saat ini menjadikan dua jenis makanan tersebut sebagai makanan pokok.

Pohon sagu tumbuh subur hampir di setiap tempat, sedangkan tanaman padi sebagai sumber beras sudah menjadi usaha tani masyarakat sejak dari leluhur.

"Jadi, kita masyarakat Tolaki tidak akan kesulitan pangan hanya karena kelangkaan beras. Masyarakat di daerah ini, sejak lama sudah akrab dengan bahan makanan dari sagu, ubi kayu, jagung, dan umbi-umbian yang tumbuh subur di daerah ini," katanya.

Oleh Agus
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015