"Hakikat negara republik adalah negara yang dijalankan pemerintah melalui mekanisme demokratik yang mengutamakan kepentingan publik. Untuk itu pendidikan anti-korupsi perlu," kata Robet, dalam Seminar Nasional Korupsi dan Pendidikan Melawan Korupsi, di Laboratorium Sosiologi UNJ, dalam siaran persnya, di Jakarta, Jumat.
"Saat ini terjadi pergesaran makna Republik sebagai respublika (untuk kepentingan publik) menjadi resprivata yang mengutamakan kepentingan privat yang oknum berkuasa," tambah dia.
Mantan penasihat KPK, Abdullah Hehamahua, yang hadir pada seminar itu, mengemukakan korupsi di Indonesia masuk kategori kejahatan luar biasa, dengan dampak sistemik merugikan rakyat sehingga diperlukan pemberantasan tanpa tebang pilih, penegakan hukuman sosial, dan pencegahan melalui lembaga pendidikan.
"Coba sediakan dua SKS saja untuk mata kuliah pendidikan anti-korupsi di kampus-kampus, ini akan bermanfaat. Masalahnya sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan kebijakan itu," kata Hehamahua.
Adapun koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengemukakan, korupsi juga terjadi di dunia pendidikan, terutama pada bagian pengadaan barang dan jasa yang komposisinya mencapai 60 persen.
"Pemberantasan korupsi di lembaga pendidikan dasar dan menengah terhambat akibat rendahnya sikap demokratis di lembaga pendidikan. Tingkat partisipasi pendidik rendah dalam pemberantasan korupsi di sekolah," beber Irawan.
Pengamat politik UNJ, Ubedilah Badrun, pun mengemukakan, sistem politik yang cenderung memerlukan biaya besar menjadi faktor yang menumbuhkan praktik korupsi yang sistemik di dunia pendidikan.
"Relasi politik transaksional sebelum pemilu dan pergantian pejabat pasca pemilukada adalah pintu masuk korupsi di dunia pendidikan di daerah yang dilakukan sistemik," kata Badrun.
Ubedilah juga membeberkan hasil survei Laboratorium Sosiologi UNJ dengan metode snowbolling dan teknik kuesioner online di Jabodetabek yang menunjukkan, 45 persen pelaku pendidikan melihat langsung praktek korupsi di lembaga pendidikan.
63 persen korupsi di lembaga pendidikan terjadi pada sektor pengadaan barang dan jasa.
Adapun 40 persen responden menyatakan korupsi sebagai musuh bersama, 60 persen responden meyakini lemahnya pengawasan menjadi faktor utama korupsi di dunia pendidikan, 30 persen menganggap korupsi akibat rendahnya moralitas dan 10 persen menganggap karena faktor lain.
Adapun 40 persen responden menyatakan korupsi sebagai musuh bersama, 60 persen responden meyakini lemahnya pengawasan menjadi faktor utama korupsi di dunia pendidikan, 30 persen menganggap korupsi akibat rendahnya moralitas dan 10 persen menganggap karena faktor lain.
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015