Mengatasi kebuntuan riset pangan Indonesia

5 November 2015 14:51 WIB
Mengatasi kebuntuan riset pangan Indonesia
ilustrasi - Seorang staf peneliti membuat lontong dalam daun (buras) saat pembuatan buras untuk darurat pangan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) IPB, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2015). (ANTARA FOTO/Jafkhairi)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Jenderal Penguatan Inovasi  Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Jumain Appe mengungkapkan untuk mengatasi kebuntuan riset pangan di Indonesia diperlukan sinergi antara pihak akademisi, industri, pemerintah dan masyarakat.

"Industri hulu tidak berkembang karena sinergi tidak terjadi," kata Jumain dalam jumpa media Simposium Pangan Nasional 2015 di Jakarta, Kamis.

Sebuah riset pangan akan berkembang bila sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan industri. Penelitian yang dibuat tanpa memikirkan apa manfaatnya pada masyarakat bisa jadi hanya mentok sebagai percobaan semata. Selain itu, riset di bidang pangan juga harus sejalan dengan target swasembada pangan pemerintah.

Pihak peneliti baik dari perguruan tinggi maupun industri berperan membuat inovasi pangan yang dapat sukses diaplikasikan oleh masyarakat. 

Jumain menambahkan setiap penemuan dari para peneliti akan dipatenkan. Peneliti juga mendapat royalti bila hasil risetnya dimanfaatkan oleh masyarakat luas. 

Royalti tersebut diharapkan dapat menambah motivasi peneliti dan institusi untuk terus menciptakan riset yang memajukan teknologi pangan.

Indonesia yang sumber daya alamnya melimpah secara ironis masih bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan. 

Jumain menekankan negara importir seperti Thailand, Vietnam dan Myanmar yang sumber daya alamnya tak sebesar Indonesia dapat sukses karena didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang tak lepas dari riset pangan.

"Peranan penelitian sangat penting untuk mendapatkan teknologi dalam mengolah sumber daya alam kita."

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015