Taiwan-Tiongkok sepakati "hotline" lintas selat

8 November 2015 18:32 WIB
Taiwan-Tiongkok sepakati "hotline" lintas selat
Kombinasi foto menampilkan Presiden Taiwan Ma Ying-jeou (kiri) mendengarkan pertanyaan saat wawancara dengan Reuters di Kantor Kepresidenan di Taipei, arsip foto tanggal 1 Juni 2012, dan Presiden Tiongkok Xi Jinping (kanan) tersenyum sebelum pertemuan di Wisma Tamu Diaoyutai di Beijing, Tiongkok, arsip foto tanggal 29 Oktober 2015. (REUTERS/Pichi Chuang/Muneyoshi Someya/Files)
Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Taiwan dan pemerintah Tiongkok menyepakati pembentukan "hotline" lintas selat untuk memperkuat hubungan dan komunikasi antardua negara, terutama dalam keadaan darurat dan penting.

Pembentukan "hotline" tersebut merupakan salah satu dari lima poin yang dibicarakan dalam pertemuan Presiden Taiwan Ma Ying Jeou dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping di Singapura, Sabtu (7/11).

Ma mempercayakan pembangunan "hotline" tersebut dapat dilakukan bersama antara Dewan Menteri Urusan Daratan (Taiwan) dan Menteri Urusan Taiwan (Tiongkok) agar dapat bertukar pandangan mengenai isu-isu penting dan mendesak.

"Presiden Xi menyatakan bahwa hal ini dapat segera dilakukan," kata Ma dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Taiwan yang diterima Antara di Jakarta, Minggu.

Xi percaya bahwa "hotline" lintas selat dapat membantu kedua belah pihak saling berkomunikasi dan menghindari salah perhitungan pada kemudian hari.

Dalam pertemuan bersejarah setelah kedua negara berseteru selama 66 tahun itu juga dibicarakan mengenai konsolidasi Konsensus 1992 terkait pemeliharaan perdamaian di Selat Taiwan.

"Saya mengatakan kepada Xi bahwa konsensus yang dicapai antara kedua belah pihak pada bulan November 1992 adalah kebijakan satu China, tetapi berbeda seperti apa artinya dan masing-masing pihak bisa mengekspresikan interpretasi tersebut secara verbal," kata Wali Kota Taipei 1998-2006 itu.

Ma menegaskan bahwa interpretasi Taiwan tidak memasukkan dua China dalam arti satu China, satu Taiwan atau kemerdekaan Taiwan, sebagaimana tidak diperkenankan dalam Konstitusi Taiwan.

"Saya juga menekankan bahwa perdamaian dan kemakmuran yang berkelanjutan harus menjadi tujuan bersama dalam pengembangan hubungan lintas selat. Kami akan terus mengonsolidasikan Konsensus 1992 sebagai dasar menjalin hubungan dan mempertahankan status quo perdamaian dan kemakmuran," ujar Presiden Taiwan dua periode yang akan mengakhiri tugasnya pada Januari 2016 itu.

Pertemuan di Singapura yang mendapat perhatian dunia internasional itu juga membahas penyelesaian perselisihan secara damai.

"Kami menginginkan Tiongkok daratan untuk memahami bahwa rakyat kami berharap semua bentuk perselisihan, baik politik, militer, sosial, budaya, hukum, maupun yang lain dapat diselesaikan secara damai dengan mengedepankan itikad baik. Kami juga menghadapi masalah saat hendak berpartisipasi dalam integrasi ekonomi regional dan kegiatan internasional lainnya," ujar Presiden Taiwan kelahiran Hong Kong pada 65 tahun silam itu.

Menurut Ma, Presiden Xi berjanji segera mengatasi persoalan tersebut kasus per kasus.

Ma juga menyampaikan keresahan rakyat Taiwan atas pengerahan kekuatan militer Tiongkok. Namun oleh Xi langsung dijawab bahwa pengerahan peluru kendali itu tidak ditujukan kepada Taiwan.

Demikian pula dengan perluasan pertukaran lintas selat yang saling menguntungkan turut dibahas dalam pertemuan di Singapura.

"Kami ingatkan adanya fakta bahwa Taiwan dan Tiongkok memiliki sistem sosial dan ekonomi yang berbeda. Kedua belah pihak perlu waktu yang cukup untuk terlibat dalam pertukaran yang lebih dalam. Kami juga menegaskan kembali keinginan untuk berpartisipasi dalam integrasi ekonomi regional," kata Ma.

Kemudian Xi menanggapinya dengan pernyataan kesediaan untuk membahas masalah tersebut dan menyambut baik partisipasi Taiwan dalam Infrastructure Asia Investment Bank serta berinisiatif dalam rencana "satu sabuk, satu jalan".



Pusat Pendidikan Tinggi

Ma juga berharap Tiongkok dapat mengirimkan para lulusan perguruan tinggi kejuruan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Taiwan.

"Saya mencatat bahwa upaya kami selama beberapa tahun terakhir telah bertemu dengan keberhasilan yang terbatas. Kami punya banyak politeknik, tetapi kekurangan pelajar. Namun ada fakta yang menarik bahwa Vietnam, Thailand, India, dan Indonesia bersedia mendanai dosen-dosen mereka untuk melanjutkan studi pascasarjana di Taiwan. Kami menyambut mereka itu dengan baik," katanya.

Sebelum Ma menjabat presiden, di Taiwan terdapat sekitar 30.000 mahasiswa dari luar negeri. Tahun ini, angka tersebut telah meningkat menjadi lebih dari 100.000.

"Oleh karena itu, kami akan menjadikan Taiwan sebagai pusat pendidikan tinggi di Asia-Pasifik. Tiongkok bisa mendukung kami karena di sana kami lihat ada lebih dari satu juta lulusan perguruan tinggi kejuruan," ujarnya seraya menambahkan bahwa Xi bersedia menanggapi usulan tersebut.

Pada akhir pembicaraannya dengan Xi, Ma menyampaikan harapan bahwa kedua belah pihak dapat mengubah permusuhan menjadi persahabatan dan mencari perdamaian, bukan perang.

Pertemuan kedua kepala negara yang menuai protes keras dari ratusan rakyat Taiwan itu tidak diakhiri dengan pembacaan kesepakatan atau deklarasi apa pun. (T.M038)


Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015