• Beranda
  • Berita
  • Melihat sekolah dengan "blended learning" di California

Melihat sekolah dengan "blended learning" di California

12 November 2015 09:24 WIB

Bukan soal bisa atau tidaknya, tapi harus dimulai karena teknologi dapat disesuaikan dengan keunikan dan kemampuan belajar murid."

Empat tahun lalu Thomas Russell Middle School di Milpitas, California, Amerika Serikat melakukan perubahan drastis. Metode belajar dari yang sebelumnya konvensional menjadi pembelajaran campuran (blended learning).

"Kalau dulu kita diajarkan duduk di bangku sekolah berjejer dan hanya mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru, dengan blended learning setiap murid bebas bergerak serta berinteraksi dengan guru," ujar Wakil Presiden Majelis Pendidikan Milpitas, Gunawan Alisantosa.

"Blended learning" menggabungkan antara instruksi ruang kelas tradisional dengan pembelajaran digital. Pembelajaran yang menggabungkan penggunaan buku dan perangkat lunak.

Dengan metode itu, sistem pendidikan lebih berorientasi pada murid, mendorong murid untuk belajar sepanjang hayat.

Melalui metode tersebut, maka guru dan murid akan memiliki akses ke data yang lebih baik yang meningkatkan belajar dan mengajar. Guru juga dengan mudah bisa memantau perkembangan murid.

Di Milpitas, setiap murid di sekolah itu juga mendapatkan satu laptop atau lebih tepatnya dipinjamkan.

Tiap laptop ditempeli stiker nama-nama murid. Akan tetapi, perangkat teknologi tersebut tidak dibawa pulang, setelah belajar mereka kemudian harus mengumpulkan dan menyimpannya di loker.

Mereka menggunakan laptop untuk melakukan latihan di kelas atau melakukan penelitian.

Gunawan, yang sudah menetap 38 tahun di Amerika Serikat, mengatakan hal serupa tidak hanya ada di sekolah menengah tetapi mulai dari jenjang sekolah dasar.

Seperti tampak di suatu kelas, seorang guru perempuan mendampingi tiga murid yang serius menatap layar laptop masing-masing.

Mereka duduk berkelompok dan membentuk lingkaran. Sang guru berdiskusi dengan salah satu murid.

Dua murid lainnya sibuk mengerjakan soal matematika dari layar laptop mereka. Di sisi kanan mereka terdapat kertas yang digunakan untuk coretan mencari jawaban.

Penggunaan kertas di kelas pun jauh berkurang. Misalnya untuk mengerjakan latihan, mereka tidak lagi harus menulis pada tulis namun cukup mengetik pada laptop mereka yang kemudian diunggah dan dinilai oleh guru mereka.

Kursi-kursi di kelas bukan kursi statis, namun kursi yang dilengkapi roda. Sehingga murid lebih fleksibel bergerak dan berinteraksi dengan guru.

"Guru pun mengajar berdasarkan kemampuan belajar sang murid. Setiap murid mempunyai kecepatan yang berbeda, sehingga pendekatan yang dilakukan pula harus berbeda," kata Gunawan.

Di Milpitas, murid yang memiliki kemampuan menangkap pelajaran agak lamban diberikan bimbingan tambahan.

"Pada tingkat sekolah menengah ada juga sekolah untuk anak yang membutuhkan perhatian khusus atau nakal. Jumlahnya tidak banyak, sekitar 174. Mereka diberi bimbingan tambahan dan banyak yang berhasil masuk ke situ," cetus Gunawan.

Sekolah itu juga tidak menetapkan juara kelas. Rauel Kusunoki, kepala sekolah SD  mengatakan setiap murid mempunyai kemampuan yang berbeda untuk setiap bidang. Murid memiliki keunggulannya masing-masing, entah itu matematika, bahasa ataupun olahraga.

Ada ujian yang dilakukan baik ujian perbandingan maupun kompetensi, tapi tidak digunakan untuk menentukan kenaikan kelas ataupun lulus atau tidak.

Dana Besar
Untuk menerapkan metode pembelajaran campuran atau "blended learning", biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.

Pengawas sekolah terpadu Milpitas, Cary Matsuoka, mengakui mereka menggelontorkan dana sebesar setengah juta dolar untuk pembangunan infrastruktur jaringan internet.

"Kemudian untuk laptop, kami mengeluarkan dana sebesar 300 dolar untuk setiap anak," kata Matsuoka.

Matsuoka menjelaskan mereka memilih menggunakan Chromebook, produk besutan Google untuk proses belajar-mengajar di sekolah itu.

"Tentu ada perbedaan yang mendasar antara Chromebook dan laptop. Dengan Chromebook, kami bisa mengontrol apa yang bisa dibuka dan yang tidak bisa dibuka anak. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan jika menggunakan laptop biasa," terang Matsuoka.

Dengan Chromebook, mereka tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk membeli lisensi perangkat lunak lainnya contohnya kalau menggunakan sistem operasi berbayar pada laptop, maka kita harus mengeluarkan uang untuk perangkat lunak lainnya.

Akan tetapi mereka tetap harus mengeluarkan untuk sistem tes berlisensi. Meski tak menyebutkan berapa angka pastinya, Cary mengakui biaya yang dikeluarkan cukup besar.

"Metode blended learning memutus kesenjangan antara siswa yang berasal dari keluarga mampu dan tidak."

Lalu dari mana semua biaya tersebut?

Milpitas merupakan kota kecil yang termasuk dalam wilayah Santa Clara, California, Amerika Serikat.

Gunawan yang berasal dari Indonesia tersebut mengatakan sekolah tersebut merupakan sekolah negeri dan masyarakat yang memasukkan muridnya ke sekolah tersebut tidak perlu membayar.

Jumlah mereka mencapai 10.000 murid yang terdiri dari SD, SMP dan SMA.

"Tiap tahun jumlahnya terus naik, karena kota ini sedang dalam pembangunan besar-besaran. Penduduknya bertambah banyak dan kami sedang memperjuangkan membuat sekolah baru," terang Gunawan.

Semua dana tersebut berasal dari pajak masyarakat yang dipungut berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Gunawan menyebut kalau hal itu dinamakan "bond measure", tiap penduduk ditanyakan apakah mau membayar pajak lebih untuk pembangunan infrastruktur jaringan TIK dan pengadaan laptop di sekolah.

Untuk berhasil mendapatkan dana dari pajak masyarakat tersebut, harus mengumpulkan setidaknya 55 persen suara.

Jadi harus cerdas dalam melakukan kampanye, agar masyarakat mau membayar pajak lebih.

"Empat tahun lalu, kami berhasil mengumpulkan 95 juta dolar dari bond measure tersebut," kata Gunawan.

Atase pendidikan KBRI Washington DC, Prof Ismunandar, mengatakan penerapan metode pembelajaran "blended learning" harus dimulai secepatnya.

"Bukan soal bisa atau tidaknya, tapi harus dimulai karena teknologi dapat disesuaikan dengan keunikan dan kemampuan belajar murid," kata Ismu.

Dengan teknologi, siswa bisa belajar sesuai dengan kecepatannya, dipantau dan kemudian diberikan umpan balik.

"Juga memungkinkan adanya kolaborasi. Secara jangka panjang juga akan lebih murah," tukas Ismu.

Oleh Indriani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015