"Frekuensi pesantren berperang saat koloniaisasi Belanda menurun pada abad ke-19, seiring dengan munculnya sekolah modern saat itu," kata Agus yang juga ketua Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) saat mengisi diskusi bertema "Mengurai Hubungan Resolusi Jihad dan Hari Pahlawan" di Jakarta, Jumat.
Menurut Agus, kalangan santri dan ustad pada era penjajahan Belanda tahun 1800-1900 melakukan sedikitnya 112 pemberontakan, merujuk pada laporan harian pemerintah Hindia Belanda. Tapi seiring menjamurnya sekolah modern justru perlawanan terhadap penjajah angkanya menurun.
Ini menandakan, masih kata dia, pendidikan modern yang menandingi pesantren mulai menggerus nilai-nilai Islam yang mengajarkan bela negara atau cinta Tanah Air.
Sementara itu, sejarawan NU lainnya Zainul Milal Bizawie mengatakan ada kecenderungan pesantren semakin dipinggirkan di masa lalu dan efeknya dapat dirasakan sampai saat ini.
Maka dari itu, dia berharap agar pesantren terus dipertahankan dan direvitalisasi sehingga terus dapat menguatkan peran positifnya di tengah masyarakat, seperti ajaran tentang nasionalis religius.
"Sejak awal kemerdekaan sepertinya ada yang mengarahkan hubungan tokoh nasional Bung Tomo yang datang dari kelompok pesantren, agak-agak dipinggirkan. Seperti ada tujuan supaya bangsa ini tidak perlu religius," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015