Hanya dalam hitungan menit, serangan di Paris, Prancis yang menewaskan lebih dari 150 orang pada 13 November 2015, misalnya, dapat disaksikan secara langsung melalui saluran televisi di seluruh pelosok dunia.
Tidak puas menonton tayangan informasi di televisi, masyarakat di negara mana pun yang memiliki internet dalam waktu singkat dapat mengakses berita-berita seputar kejadian itu di berbagai situs media online.
Para pendengar radio yang berada di mobil di tengah kemacetan lalu lintas pun dapat mengetahui berita yang menggemparkan dari ibu kota Prancis tersebut secara langsung.
Semua informasi menjadi mudah dan murah. Informasi tidak lagi menjadi milik orang-orang kota, terpelajar, dan pemilik modal. Informasi telah menjadi milik semua orang tanpa batas wilayah dan status sosial.
Semua layanan informasi cepat saji itu membuktikan bahwa perkembangan jurnalistik sangat pesat seiring dengan kemajuan teknologi. Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini sangat dipengaruhi oleh karya jurnalistik.
Begitu bangun tidur pagi-pagi, "sarapan" pertama adalah membaca pesan di media sosial, membaca koran, atau menonton televisi. Berangkat ke tempat kerja, di mobil mendengarkan berita dan "talkshow" radio.
Saat tiba di kantor, kegiatan pertama yang dilakukan adalah menyalakan komputer dan membuka situs-situs berita. Sambil bekerja, kadang ada SMS yang menginformasikan dari mulai jalan macet, unjuk rasa, sampai pesawat jatuh atau peristiwa lainnya.
Ketika kembali ke rumah, di ruang keluarga pada malam hari sambil menyeruput teh hangat juga bisa menonton tayangan hiburan atau berita dari mancanegara di televisi .
Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan "one wire world", yaitu suatu masa di mana orang hanya memerlukan satu alat berupa telepon seluler untuk melakukan apa saja, dari sekadar bicara, mendengar radio, menonton TV, mengirim e-mail, bahkan sampai mentransfer uang.
Kemajuan teknologi telah mendorong dunia jurnalistik masuk ke era konvergensi media. Era konvergensi media adalah era berkembangnya industri pers, di mana perusahaan-perusahaan media besar membagi materi beritanya ke media cetak, media elektronik, dan media online yang dimilikinya masing-masing.
Karena itu, dunia jurnalisme, termasuk di Indonesia pun mau tidak mau mengalami pergeseran secara mendasar serta menghasilkan apa yang disebut "convergent journalism" (jurnalisme konvergen).
Islamophobia
Di era konvergensi media ini ternyata apa yang disebut "Islamophobia" justru cenderung semakin meningkat. Islamophobia adalah ketakutan berlebihan yang tidak memiliki dasar berpikir yang kuat dan logis tentang Islam, bahkan dapat dikatakan mengada-ada tentang Islam.
Media massa Barat sering menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh dengan kekerasan, kebencian, egois, tidak toleran, dan membatasi pemeluknya dengan aturan-aturan yang ketat sehingga tidak memungkinkan adanya kebebasan.
Di Barat, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika, media massa kerap dimanfaatkan untuk menyudutkan Islam. Bahkan, hingga kini beberapa film bioskop dan televisi yang menghina Islam terus ditayangkan di beberapa negara Eropa dan Amerika.
Media massa di sana, dari koran, radio, televisi hingga media online secara kompak sering mempropagandakan anti-Islam melalui artikel dan karikatur-karikatur yang mendiskreditkan Islam. Denmark adalah negara yang dikenal kerap mempublikasikan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Lebih dari itu, di Belanda bahkan ada partai politik yang secara resmi menyatakan anti-Islam. Partai politik tersebut dimimpin oleh seorang aktivis, Geert Wilders.
Haluan politik Geert adalah kanan nasionalis yang liberal. Ia dikenal sebagai politisi anti-Islam dan antiimigran. Pada 2008, ia bersama rekannya, Arnoud van Doorn membuat film pendek berjudul "Fitna" yang menyulut kontroversi.
Film itu berisi tentang pandangannya yang miring mengenai Islam dan Al-Quran. Film yang menggemparkan dan menyulut kemarahan Dunia Islam itu disebarluaskan di internet pada 27 Maret 2008.
Ia juga pernah menyuarakan usul agar Pemerintah Belanda melarang peredaran Al Quran di Belanda. Pria kelahiran 6 September 1963 itu mengaku tidak punya masalah dengan para pemeluk Islam, tetapi ia sangat membenci ideologi mereka (ajaran Islam). .
Tetapi satu hal yang mengejutkan terjadi. Rekan Wilders, yakni Arnoud Van Doorn malahan ternyata kemudian masuk Islam (menjadi mualaf), bahkan menunaikan ibadah Haji pada 2013 sebagaimana diberitakan Saudi Gazette pada 23 April 2013).
Ia diberitakan memantapkan langkahnya sebagai seorang muslim dengan mengunjungi makam Nabi Muhammad di Madinah. Di sana ia melaksanakan shalat dan memohon maaf karena menjadi bagian dari film "Fitna" yang menghujat Islam dan Rasulullah.
Arnoud juga menyatakan berniat membuat film internasional untuk mengkampanyekan Islam "rakhmatan lilalamin" (rakhmat untuk sekalian alam) dan agama yang penuh kasih sayang .
Ia mengaku, kemarahan ummat Islam yang mengutuk film Fitna yang dibuatnya bersama Geert Wilders "memaksanya" untuk mempelajari Islam yang kemudian menuntunnya pada hidayah.
Peran media Islam
Kini ummat Islam, khususnya para jurnalis Muslim perlu atau bahkan harus benar-benar menyadari bahwa mereka pun dapat memanfaatkan media massa di era konvergensi media ini untuk menghadapi propaganda anti-Islam.
Para jurnalis Muslim tidak harus bekerja di lembaga pers yang jelas-jelas merupakan media Islam. Mereka dapat bekerja di lembaga pers mana pun dengan tetap memegang teguh idealisme dan membawa nilai-nilai Islam dalam setiap karya jurnalistiknya, baik secara langsung (tersurat) maupun tidak langsung (tersirat).
Selain itu, gerakan dakwah untuk melawan atau meng-counter Islamophobia juga dapat dilakukan melalui penulisan buku oleh para cendekiawan Muslim yang mengulas tentang potensi ajaran Islam untuk menyelesaikan problema manusia, sekaligus menjawab isu-isu miring tentang Islam.
Meski sebagian agenda dalam melawan propaganda anti Islam sudah dilakukan, upaya itu masih belum cukup terkait sangat gencarnya propaganda luas Barat yang menyuarakan anti-Islam atau kebencian terhadap Islam.
Dalam hubungan ini, kendala utama media Islam adalah belum adanya koordinasi yang baik antarmedia, sementara media-media massa di Barat bergerak secara kompak menyudutkan Islam.
Sebagai contoh, tidak lama setelah sebuah koran di Denmark mempublikasikan karikatur penistaan terhadap Rasulullah SAW, koran-koran Barat lainnya melakukan hal yang sama.
Kendala lain yang dihadapi media-media Islam adalah kurang adanya sensitivitas dalam mendakwahkan Islam, padahal konsumen mereka adalah ummat Islam sendiri yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang dianutnya.
Tetapi, bagaimanapun, media massa Islam dan para jurnalis Muslim di berbagai negara, termasuk di Indonesia mempunyai peranan penting dalam menghadapi propaganda anti-Islam yang digembar-gemborkan media massa Barat.
Meski media massa Islam mempunyai fasilitas yang terbatas, mereka sejatinya bisa melakukan koordinasi yang lebih bagus guna mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Melalui koordinasi yang kokoh, ambisi media-media Barat dalam memojokkan Islam akan dapat dibentengi dengan cara yang lebih baik.
Lebih dari itu, dengan berkembangnya media massa di era konvergensi media ini, bukan hanya jurnalis Muslim, kalangan Islam berpendidikan tinggi pun dapat mempengaruhi opini dunia dengan menyiarkan nilai-nilai dan ajaran Islam secara terus menerus melalui media massa, termasuk media sosial.
Dimulai dari yang kecil atau sederhana, dimulai saat ini, dan dimulai secara bersama-sama dalam memanfaatkan semua saluran media massa, Insya Allah umat Islam akan sanggup menghadapi "Ghazwul Fikri" (perang pemikiran) dengan Dunia Barat.
Dalam bubungan ini, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin dalam beberapa kesempatan mengemukakan, gerakan dakwah melalui media massa harus dilakukan secara profesional dengan terus mengedepankan apa yang disebut "Islam Wasathiyah" (Islam moderat).
Islam Wasathiyah adalah keislaman yang mengambil jalan tengah (tawassuth), berkeseimbangan (tawazun), lurus dan tegas (itidal), toleransi (tasamuh), egaliter (musawah), mengedepankan musyawarah (syura), berjiwa reformasi (islah), mendahulukan yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathawwur wa ibtikar), dan berkeadaban (tadhabbur).
Dakwah memang harus dilakukan secara profesional sebagaimana ucapan Ali ibn Abi Thalib yang menyebutkan bahwa "Kebenaran yang tidak dikelola secara profesional akan dihancurkan oleh kebatilan yang dikelola secara profesional."
*Aat Surya Safaat, wartawan senior Kantor Berita Antara, Anggota Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI), Humas Ormas Mathlaul Anwar.
Oleh Aat Surya Safaat
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015