Makassar (ANTARA News) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan jika Indonesia saat ini tidak memiliki regulasi yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) untuk obat paten yang diproduksi oleh perusahaan farmasi asing....di Indonesia ini belum ada HET untuk obat paten dan ini sangat rawan dimainkan harganya oleh perusahaan farmasi lainnya untuk bersekongkol menetapkan harga
"Inilah yang menjadi kekurangan kita karena regulasi yang mengatur mengenai harga eceran tertinggi itu tidak ada khusus untuk obat paten dan generik bermerek," ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf di Makassar, Minggu.
Dia mengatakan, ada sebanyak 201 perusahaan perusahaan farmasi di Indonesia dan tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Farmasi (International Pharmaceutical Manufacturer Group/IPMG).
Dari jumlah tersebut, diketahui ada 26 perusahaan asing farmasi dan hanya 5-7 perusahaan asing lainnya yang fokus dalam pengembangan dan produksi obat paten.
"Ini yang menjadi bahan pengawasan kita karena di Indonesia ini belum ada HET untuk obat paten dan ini sangat rawan dimainkan harganya oleh perusahaan farmasi lainnya untuk bersekongkol menetapkan harga," katanya.
Khusus untuk obat generik biasa, lanjut Syarkawi, obat ini hanya diproduksi oleh perusahaan farmasi nasional atau dalam negeri dan Indonesia mengatur regulasi untuk harga eceran tertinggi dari obat murah generik ini.
Bukan cuma itu, tidak adanya HET untuk obat paten dan generik bermerek ini berdampak pada besaran biaya yang ditanggung oleh layanan kesehatan dalam BPJS Kesehatan.
Bahkan kata Syarkawi, BPJS Kesehatan akan bangkrut jika tidak membuat obat generik yang khasiatnya sama dengan obat paten tersebut kareba besarnya beban biaya yang akan ditanggung.
"Ini sementara kita terus lakukan pengawasan karena akan sangat berbahaya jika perusahaan farmasi ini bersekongkol dalam menetapkan harga obat," tegasnya.
Dia mengatakan, besarnya beban biaya yang harus ditanggung oleh layanan kesehatan BPJS untuk menebus obat-obat tertentu atau obat paten ditengarai bisa merusak neraca keuangan.
Menrut Syarkawi, KPPU selama beberapa bulan ini terus melakukan pengawasan intensif terhadap industri kesehatan khususnya dibidang Farmasi terkait alur perdagangan obat tersebut.
"Terkait tingginya harga obat, secara khusus Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan kepada KPPU untuk memeriksa alur jual beli obat di Indonesia," ungkapnya.
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah warga negara yang cukup besar yaitu pada 2014 mencapai 252.164.800 jiwa dan diproyeksikan pada 2019 mencapai 268.074.600 jiwa.
Berdasarkan potensi pertumbuhan jumlah pendudukn ini, juga menjadi peluang bagi pelaku usaha di bidang industri kesehatan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnisnya.
Tercatat pada 2014 Industri farmasi di Indonesia berhasil mencatatkan omzet Rp52 triliun dan pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh 11,8 persen menjadi Rp56 triliun.
"Obat-obatan dengan resep dokter berkontribusi 59 persen dan obat bebas atau generik sebesar 41 persen dari keseluruhan pasar," terangnya.
Pewarta: Muh Hasanuddin
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015