"Harga kakao dengan pupuk organik lebih mahal, dua kali," kata Alimuddin, ketua Kakao Sejahtera, organisasi petani kakao di Kelurahan Lalomba, Kamis. Kakao Kolaka beranggotakan sekitar 300 orang.
Bantuan pupuk organik itu menurut Alimuddin dapat berupa hewan ternak, seperti kambing atau sapi, untuk diambil kotorannya dan diolah menjadi pupuk organik.
Tanaman kakao berbuah setiap dua bulan sekali. Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Kolaka M. Darwis mencatat mereka memproduksi 2-2,3 ton kakao per hektare per tahun, daerah tersebut memiliki lahan kakao sekitar 29 ribu hektare.
Tanaman kakao dengan teknik sambung pucuk lebih cepat menghasilkan buah daripada dengan teknik sambung samping.
Dengan sambung pucuk, petani dapat memanen pohon setelah setahun ditanam, sambung samping membutuhkan waktu di atas satu tahun.
"Kalau ada bantuan sambung pucuk dari pemerintah, lebih bagus," kata Alimuddin.
Darwis mengatakan tahun ini mereka menerima bantuan berupa program intensifikasi dari pemerintah pusat berupa bantuan pupuk untuk 2.000 hektare lahan.
Selain itu, terdapat juga interehabilitasi lahan sebanyak 2.300 hektare dan peremajaan 450 hektare.
Umumnya petani kakao Kolaka panen besar-besaran pada bulan April-Juli, Oktober hingga Desember pohon seringkali tidak berbuah.
Satu kali panen, satu hektare lahan kakao bisa menghasilkan 300 kuintal. Saat panen raya menurut Darwis mereka bisa panen dua kali dalam sebulan. Petani menjual kakao seharga Rp 27.000 hingga Rp 39.000.
Buah kakao biasanya dijual ke pabrik terlebih dahulu untuk diolah menjadi bubuk kakao sebelum dijual kembali.
Bupati Kolaka Ahmad Safei mengatakan nilai jual ekspor kakao bubuk dapat lebih tinggi 10 persen.
Ia juga mendorong agar pengolahan kakao tidak hanya berhenti di bubuk namun juga bentuk lainnya, misalnya cokelat.
Sulawesi Tenggara, lanjut dia, memerlukan sekitar lima pabrik untuk mengolah kakao.
Hampir setiap kabupaten di Sulawesi Tenggara merupakan penghasil kakao, yang terbesar adalah Kolaka Utara.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015