"Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus secara tegas menolak revisi Undang-Undang KPK dan menolak pelemahan pemberantasan korupsi," kata peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman di Yogyakarta, Jumat.
Ia mengatakan upaya mengubah UU KPK telah berkali-kali dilakukan. Setelah sempat ditunda Presiden Joko Widodo, RUU KPK berubah dari inisiatif pemerintah menjadi inisiatif DPR, hingga akhirnya rapat paripurna DPR memasukkan RUU KPK dalam Prolegnas 2015.
Dia menilai RUU KPK berpotensi melemahkan KPK, antara lain penghapusan kewenangan penuntutan hanya diperbolehkan dalam perkara korupsi berkerugian negara Rp50 miliar ke atas, serta upaya penyadapan harus meminta izin terlebih dahulu kepada ketua pengadilan.
"Apalagi masyarakat tidak diberi akses mengenai usulan perubahan apa saja yang dimuat dalam draf RUU KPK," kata Zaenur.
Menurut Zaenur, kominten pimpinan KPK terpilih perlu terus diingatkan dan ditagih rakyat karena rakyat tidak begitu memahami semangat dan keberpihakan pimpinan baru KPK dalam pemberantasan korupsi saat "fit and proper test" oleh Komisi III DPR.
"Ada beberapa capim yang justru mendukung revisi UU KPK, dan ada yang ingin menghentikan pengusutan BLBI dan Century," kata dia.
Menurut dia, pimpinan baru KPK harus menampik anggapan bahwa mereka terpilih atas dasar kepentingan kelompok tertentu.
"Mereka harus membuktikan bahwa pilihan DPR bukanlah pilihan hasil "lobi-lobi" untuk menghentikan kasus atau melaksanakan kebijakan titipan," tegas Zaenur.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015