Mereka yang bisa bertahan biasanya mereka yang memegang definisi komunitas atas kesejahteraan, kemakmuran dan nilai ekonomi."
Jakarta (ANTARA News) - Sepanjang 365 hari lamanya sepasang jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dan "Ucok" Suparta Arz, mengendarai sepeda motor bebek bermesin 125 cc, beriringan mengelilingi Indonesia dalam perjalanan bertajuk Ekspedisi Indonesia Biru (EIB).
Setelah bertolak memulai perjalanan mereka pada 1 Januari 2015 menuju Baduy Dalam, Banten, Dandhy dan Ucok akhirnya kembali pulang pada 31 Desember 2015 setelah lebih dulu menghampiri tempat yang sama.
Perjalanan serupa, bukan kali pertama dilakukan oleh pelaku dunia jurnalistik negeri ini. Pada 2009--2010 jurnalis senior Farid Gaban juga melakukan napak tilas sejenis membawa nama Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa (EZK) berkeliling Indonesia bersepeda motor didampingi sesama jurnalis Ahmad Yunus.
Dandhy, yang sempat turut ambil bagian membantu perjalanan Farid dan Yunus, mengaku bahwa EIB memang terinspirasi dari EZK.
Berbeda dengan EZK yang berangkat dari premis untuk menyelami dan mengagumi Indonesia sebagai negara kepulauan dan negeri bahari, EIB enggan bertolak demi sekadar mendapatkan tangkapan gambar dan tayangan yang menceritakan berbagai kekayaan alam dan sosial Indonesia.
Secara tegas Dandhy mengatakan bahwa perjalanan yang biaya modalnya ia tabung sejak 2009--2010 dan tanpa bantuan pihak sponsor manapun itu, bukan bertujuan untuk menambah katalog destinasi wisata yang ada di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung Dandhy haqulyakin mengatakan bahwa benang merah pelosok negeri yang dikunjunginya adalah lokasi-lokasi konflik sosial terkait sumber daya alam (SDA).
"Mitos Indonesia kaya itu harus dibongkar. Mitos Indonesia kaya, tetapi gagal memanfaatkannya. Benang merahnya adalah konflik SDA, perebutan akses SDA. Menurut Vananda Shiva akses terhadap SDA merupakan akar permasalahan kemiskinan," kata Dandhy dalam sebuah bincang santai selepas kepulangannya di Kantor Watchdoc, Bekasi, Kamis (31/12).
Maka berkelilinglah Dandhy dan Ucok menyambangi berbagai tempat di Indonesia menempuh lebih dari 19.000 kilometer jauhnya. Itu semua demi mengangkat berbagai aktivitas masyarakat arif yang beririsan dengan konsep Ekonomi Biru ala Gunter Pauli yang menjadi dasar dari EIB. Tiga tema utamanya, yakni keadilan sosial dan ekonomi, kearifan budaya dan kelestarian lingkungan.
Dalam perjalanan, keduanya aktif mengunggah tayangan dokumenter mereka lewat laman Youtube Watchdoc Image, seperti "Samin vs Semen", "Kala Benoa", "Lewa di Lembata", "The Mahusez" dan "Kasepuhan Ciptagelar".
Tayangan-tayangan itu mendapat banyak reaksi positif, baik itu dari sedikitnya 7.746 pengguna Facebook yang mengikuti laman EIB di media sosial tersebut maupun dari khalayak umum yang banyak merespon aktivitas mereka.
Tayangan-tayangan itu mendapat banyak reaksi positif, baik itu dari sedikitnya 7.746 pengguna Facebook yang mengikuti laman EIB di media sosial tersebut maupun dari khalayak umum yang banyak merespon aktivitas mereka.
Respon di berbagai jalur media sosial (medsos), menjadi kejutan tersendiri bagi Dandhy yang bukan saja menularkan virus-virus berupa gelaran diskusi berbahan dasar tayangan hasil EIB, tetapi juga dianggapnya berhasil menimbulkan kerja misterius yang memuluskan langkah mereka melakoni perjalanan tersebut.
Kerja misterius itu dirasakan Dandhy dan Ucok kala menyambangi Kampung Tarung, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebuah lokasi yang sudah lazim menjadi daerah tujuan wisata di tempat masyarakat yang masih menganut agama asli Nusantara, Marapu. Mereka berdiam dan menjaga sisa-sisa peninggalan peradaban megalitikum.
"Kami permisi dulu meminta izin dan salah seorang di sana bertanya kami dari mana, lantas kami jawab EIB. Kemudian ia mengeluarkan ponsel pintar dan memeriksa Facebook. Bayangkan orang Marapu yang hidup menjaga peradaban megalitikum sudah ramah medsos," ujar Dhandy.
Ia menimpali, "Dan, melihat apa saja hasil kerja dan kegiatan EIB selama ini. Bukannya diminta mengisi kas desa laiknya turis umum, kami justru diberi kain tenun dan buah tangan lainnya."
Ia menimpali, "Dan, melihat apa saja hasil kerja dan kegiatan EIB selama ini. Bukannya diminta mengisi kas desa laiknya turis umum, kami justru diberi kain tenun dan buah tangan lainnya."
Fenomena itu juga menimbulkan kesadaran lain bagi Dandhy, kenyataan bahwa masyarakat yang masih menjaga adat dan kearifan budaya lokal mereka, selama ini merindukan kedatangan mata kamera yang bukan sekadar datang dengan tujuan mengeksploitasi dan mengabadikan eksotisme serta mengekstrak elemen-elemen keriaan kehidupan setempat.
"Tetapi, mereka rindu akan kamera yang mau mendengar apa-apa saja yang mereka khawatirkan. Karena, mereka sudah lelah didatangi turis yang hanya mengagumi apa yang mereka sajikan di Kampung Tarung, tetapi bahkan untuk mencantumkan agama Marapu di KTP saja tidak ada yang mau," ujar Dandhy.
Sekembalinya mereka dari perjalanan panjang itu, Dandhy yang merupakan Pendiri Rumah Produksi tayangan dokumenter Watchdoc sekaligus anggota Majelis Pertimbangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ucok yang aktif sebagai jurnalis acehkita.com, mengaku masih memikul tanggung jawab besar.
Keduanya membawa enam keping harddisk berisikan 12 terabyte (TB) gambar yang sudah ditangkap sepanjang perjalan EIB, bersama Watchdoc meluncurkan laman www.indonesiabiru.com sebagai papan informasi dan ringkasan cerita-cerita ekspedisi. Mereka pun berjanji, menelurkan sedikitnya 20-an tayangan dokumenter baru.
Kutipan pertarungan nilai
Keputusan menjadikan konflik SDA sebagai benang merah perjalanan EIB, membawa Dandhy dan Ucok pada lokasi-lokasi persinggahan yang memang sengaja dipilih dengan kriteria khas.
Secara umum rute yang ditempuh EIB adalah bertolak dari Banten menyusuri sisi selatan Pulau Jawa, ke Timur melintasi Bali, Nusa Tenggara, Timor, Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra sebelum kembali pulang ke Jawa.
Namun, Dandhy mengatakan bahwa lokasi yang dikunjungi bukan saja tempat di mana masih berlangsungnya konflik SDA, tetapi harus mewakili kondisi pertarungan nilai antara kearifan lokal masyarakat setempat dengan rencana investasi pengusaha yang tentunya secara terang maupun dalam diam diamini oleh pemerintah.
"Jadi, bukan hanya rebutan akses terhadap SDA, tetapi yang kami tangkap ide adanya clash of value," tuturnya.
Perjalanan EIB di Pegunungan Kendeng, misalnya, menghasilkan tayangan dokumenter "Samin vs Semen" yang memperlihatkan pertarungan nilai antara gempuran pemodal dengan filosofi masyarakat Samin terhadap pertanian.
Demikian juga "Kala Benoa" yang menangkap bagaimana pertarungan antara masyarakat Bali melawan rencana reklamasi Teluk Benoa, yang bukan saja berisiko bakal mengacaukan ekosistem, bahkan menimbulkan kekacauan siklus aliran air di muara lima sungai di sana, tetapi bagaimana kerakusan "asing" atas wilayah yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat.
Sementara "The Mahuzes" memperlihatkan bagaimana kegigihan masyarakat Suku Malind di Merauke mempertahankan lahan mereka dari ambisi investasi kelapa sawit serta proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dari pemerintah.
"Jadi, kami memilih bukan menitikberatkan pada konflik kepentingan, karena kalau konflik kepentingan di Jakarta juga banyak. Konfliknya adalah pertarungan antar-nilai itu tadi, termasuk di dalamnya bagaimana pertarungan antar definisi-definisi kesejahteraan," katanya.
Selain menangkap tentang konflik SDA secara telanjang, EIB juga memaparkan bagaimana kearifan lokal memiliki pemaknaan yang berbeda untuk keadaan yang disebut sejahtera maupun makmur.
Salah satunya ia sajikan lewat "Kasepuhan Ciptagelar", tentang masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar di lereng Gunung Halimun, Sukabumi, yang lewat keteguhannya menjaga adat istiadat justru berhasil melanjutkan sistem pertanian dengan menyisakan hasil panen setahun yang mencukupi kebutuhan pangan tiga tahun ke depan.
Selain menjaga adat bahwa padi tidak bisa diperjualbelikan karena secara praktis setara dengan memperjualbelikan kehidupan manusia, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar juga sukses menyiasati zaman dengan mendirikan stasiun televisi lokal Ciga TV berkat ilmu teknologi informasi yang sempat dienyam Abah Ugi, Ketua Adat masyarakat setempat.
Sedangkan, persinggahan EIB ke Kasepuhan Ciptagelar, menyisakan pengalaman tersendiri bagi Ucok yang menjadi saksi sebuah komunitas betul-betul masih menjaga semangat gotong royong dan penjunjungan wibawa bagi pemimpinnya, tentu saja dengan catatan bahwa pemimpinnya sendiri memang bersikap dalam tataran yang memang mengayomi.
"Yang saya temui di Kasepuhan Ciptagelar adalah gotong royong yang masih kuat, keteguhan masyarakatnya memegang adat istiadat nan kaya kearifan lokal serta wibawa seorang pemimpin di sana," ujar Ucok.
Ucok juga membagi kekagumannya atas kegigihan masyarakat Suku Marlind melawan gelombang kerakusan pemodal di tanah mereka.
Sementara itu, Dandhy mengakui bahwa yang bisa ditangkapnya lewat EIB masih merupakan segelintir kecil dari beragam kearifan lokal yang bertarung melawan kerakusan modal dan kekeraskepalaan pemerintah.
Pasalnya, ia sempat berandai-andai di perjalanan semua tertata dan pihak-pihak kenalan lokal dapat membantu memetakan, serta merencanakan terperinci bagaimana eksekusinya.
Pasalnya, ia sempat berandai-andai di perjalanan semua tertata dan pihak-pihak kenalan lokal dapat membantu memetakan, serta merencanakan terperinci bagaimana eksekusinya.
Pun demikian, dari "sedikit" yang ia dapatkan itu, Dandhy menemukan kesimpulan bahwa semakin masyarakat terlibat dalam dengan simbol-simbol negara, agama baru dan sistem pendidikan formal semakin dekat dengan kekalahan.
Maksudnya, semakin setiap orang membenamkan diri dalam peradaban yang disebut sebagai negara bangsa itu kian dekat dengan keterpurukan dibandingkan masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat mereka.
"Mereka yang bisa bertahan biasanya mereka yang memegang definisi komunitas atas kesejahteraan, kemakmuran dan nilai ekonomi," katanya.
Selain itu, ia menyatakan, "Mudahnya, orang-orang yang masih menganggap sakral pohon dan sumber air, sukses menjaga itu ketimbang masyarakat pengenyam pendidikan formal, penganut agama baru, menganggap pengkeramatan pohon sebagai tindakan musyrik yang harus membeli air untuk kebutuhan keseharian mereka."
Selain itu, ia menyatakan, "Mudahnya, orang-orang yang masih menganggap sakral pohon dan sumber air, sukses menjaga itu ketimbang masyarakat pengenyam pendidikan formal, penganut agama baru, menganggap pengkeramatan pohon sebagai tindakan musyrik yang harus membeli air untuk kebutuhan keseharian mereka."
Penyeragaman lenggangkan pemodal
Kelunturan adat istiadat, ditangkap Dandhy sebagai gejala turunan dari penerapan dan penerimaan mentah-mentah sistem pendidikan formal.
Dandhy menilai sistem pendidikan formal di Indonesia merupakan wujud dari inferioritas bangsa kita dalam urusan mengajarkan generasi penerus tentang apa-apa saja keahlian dalam hidup yang harus dipelajari dan dikuasai.
Sistem pendidikan formal di Indonesia, sama sekali tidak peka terhadap kebutuhan hakiki masyarakat, sebagaimana apa yang ia temui dalam persinggahan EIB di Pulau Siberut tempat tinggal masyarakat Mentawai.
Dandhy bercerita, di sana tim EIB sempat menyaksikan seorang warga setempat terkena gigitan ular ekor merah yang dalam tiga hari racunnya bisa merasuk, sementara tidak ada rumah sakit. Pertolongan medis terdekat harus menyeberang ke daratan Sumatera demi memperoleh pengobatan, sedangkan pengetahuan warga tentang keterampilan pertolongan pertama terhadap gigitan ular kian terkikis.
Beruntunglah masih ada sikerei atau tabib setempat yang masih menjaga pengetahuan lokal tentang daun apa yang dapat menangkal penyebaran bisa ular.
Kejadian itu tentu membuat Dandhy membayangkan apa jadinya jika keberadaan sikerei kian langka dan masyarakat yang mendapat pendidikan formal juga tak memahami bagaimana menangkal gigitan bisa ular, sementara fasilitas medis tak memadai.
"Maka, percuma kalau anak Mentawai pintar kalkulus ataupun berbagai pengetahuan formal, kemudian pulang sekolah digigit ular dan mati. Jadi, apa fungsi pendidikan kalau orang Mentawai akhirnya tidak bisa membantu orang lain atau menolong dirinya sendiri ketika digigit ular," tukas Dandhy.
Ia menambahkan, "Kalau seorang anak pintar matematika, tetapi dipatok ular langsung mati, sama saja konteksnya dengan diktator yang berkoar-koar tentang sekolah dan pendidikan gratis, tetapi setelah Anda lulus dan menjadi kritis terhadap pemerintah kemudian diculik dan dihilangkan,."
Kegagalan mendeteksi kearifan lokal sebagai sebuah sumber pengetahuan yang seharusnya dijunjung dan diperhatikan juga terlihat dari kasus hilangnya lebih dari 150.000 jiwa dalam bencana tsunami di Aceh pada 2004 silam.
"Dalam contoh dramatis bagaimana bisa sistem pendidikan kita gagal mencegah jatuhnya 150.000 korban jiwa dalam bencana tsunami 2004. Padahal, warga Pulau Simeulue, Aceh, dengan kearifan lokal tentang smong bisa selamat," kata Dandhy.
Pengetahuan masyarakat Pulau Simeulue terhadap smong, baik itu gejala maupun bagaimana cara mengantisipasinya, berhasil menekan jumlah korban jiwa di sana pada bencana 2004 "hanya" menewaskan tujuh nyawa saja.
"Kenapa SD-SMP kita tidak punya konsep pendidikan yang menceritakan tentang smong, mengapa harus menunggu orang Jepang memberi tahu tentang konsep trunami. Itu contoh nyata bagaimana pengetahuan dan kearifan lokal gagal diserap oleh sistem pendidikan formal kita," ujarnya.
Lebih lanjut lagi, Dandhy menilai bahwa keberadaan pendidikan formal yang tidak peka dengan kebutuhan keseharian masyarakat secara linier menjadi sebuah konstruksi yang pada akhirnya memberikan keuntungan besar bagi para pemodal.
Ia mengambil contoh, kondisi yang ditemuinya saat menyambangi sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, sebuah wilayah yang fundamental ekonominya ditopang kegiatan masyarakat sebagai nelayan.
"Di antara sekira 70 anak siswa kelas XII SMA saya tanya siapa yang mau jadi nelayan dan hanya ada satu anak saja yang mengaku mau menjadi nelayan," katanya.
Ia pun berujar, "Itu memperlihatkan dengan negara membangun sekolah formal di sebuah kampung nelayan justru mencabut hasrat menjadi nelayan dari setidaknya satu generasi 70 siswa sebab alam pikirannya sudah berbeda. Mereka lebih ingin menjadi pakar teknologi, bekerja di Batam, Jakarta atau Medan, atau memperoleh beasiswa dan berkuliah di Singapura."
Ia pun berujar, "Itu memperlihatkan dengan negara membangun sekolah formal di sebuah kampung nelayan justru mencabut hasrat menjadi nelayan dari setidaknya satu generasi 70 siswa sebab alam pikirannya sudah berbeda. Mereka lebih ingin menjadi pakar teknologi, bekerja di Batam, Jakarta atau Medan, atau memperoleh beasiswa dan berkuliah di Singapura."
Hal itu menempatkan posisi pendidikan formal di Pulau Galang pada khususnya dan sebagian besar wilayah Indonesia hanya sekadar mesin produksi tenaga kerja buruh berupah murah.
"Karena, ketika anak-anak Pulau Galang tidak tertarik dan tidak memiliki keahlian sebagai nelayan, pilihan terakhirnya adalah menjadi buruh, maka sistem pendidikan menghasilkan buruh murah. Itu semacam subsidi tidak langsung terhadap keberlangsungan industri dengan terus memproduksi buruh murah," katanya.
Kemudian, ia menilai, seiring berjalannya waktu dalam konteks konflik penguasaan lahan SDA, dengan tercerabutnya niatan anak-anak Pulau Galang menjadi nelayan, maka para pemodal dengan mudah bisa masuk ke sana mengakuisisi lahan entah untuk dijadikan kawasan industri yang jauh dari akar kehidupan bahari.
Pola yang nyatanya sangat mungkin berulang di berbagai wilayah di Indonesia yang warganya berbondong-bondong meninggalkan tradisi mata pencaharian dan menuju apa-apa yang dikonsepsikan lazim sebagai cara paling tepat menuju kemakmuran, catatnya.
"Urutannya, begitu masyarakat tidak punya ikatan terhadap ekosistemnya, maka SDA sekitar mereka mudah diambil alih pemodal," ujarnya.
Kemudian, "Mereka tidak punya ikatan dengan ekosistem karena sudah tidak lagi memegang teguh nilai-nilai tradisional setempat. Mereka kehilangan nilai-niali karena sejak memasuki pendidikan formal dikonstruksi menerima sebuah tafsir seragam tentang berbagai hal."
Kemudian, "Mereka tidak punya ikatan dengan ekosistem karena sudah tidak lagi memegang teguh nilai-nilai tradisional setempat. Mereka kehilangan nilai-niali karena sejak memasuki pendidikan formal dikonstruksi menerima sebuah tafsir seragam tentang berbagai hal."
Oleh karena itu, Dandhy berharap, berbagai materi yang ia pungut sepanjang perjalanan EIB bersama Ucok dapat diterjemahkan oleh kalangan akademisi di Indonesia untuk menjadi daya dobrak mengubah pola-pola kebijakan yang tidak berbasis kebutuhan publik, tetapi kepentingan pemodal, termasuk juga di dalamnya merombak sistem pendidikan yang lebih peka terhadap berbagai pengetahuan dan kearifan lokal.
Sebab sesuai dengan semangat yang dibawa Dandhy kala mencetuskan ide tentang EIB, ia ingin bahwa perjalanan tersebut dapat mendongkrak konsep Ekonomi Biru, yakni ekonomi yang berbasiskan keadilan sosial, arif dalam berbudaya dan lestari terhadap lingkungan. (*)
Oleh Gilang Galiartha
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016