Jakarta (ANTARA News) - Profesor Kehutanan dari IPB, Hariadi Kartodiharjo mengusulkan perlu pemetaan atas keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia sehingga memudahkan tidak terjadinya tumpang tindih dengan Undang-Undang Lingkungan yang sudah ada.Pemetaan juga berguna untuk menyatukan "gap" antara norma dan fakta,"
"Pemetaan juga berguna untuk menyatukan "gap" antara norma dan fakta," kata Hariadi dalam Diskusi Pakar Telaah Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem di Jakarta, Selasa.
Ia mencontohkan apabila fakta di lapangan hasil pemetaan menemukan bahwa suatu kawasan tidak layak lagi disebut zona inti konservasi, maka strategi pendekatannya juga berbeda.
"Satu lagi, yang tak bisa dielakkan adalah melihat relasi masyarakat dan bisnis dalam pemanfaatan sumber daya genetik," ucap Hariadi.
Menurut Hariadi, keberhasilan Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem ini nantinya dapat membalikkan pikiran masyarakat bahwa konservasi tidak harus di kawasan khusus.
"Bahwa penyelamatan keanekaragaman hayati juga bisa dilakukan masyarakat biasa," tuturnya.
Sementara itu, Sumber Daya Genetik menjadi isu utama dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang sekarang masuk Program Legislasi Nasional 2016.
Rancangan Undang-Undang ini diharapkan mampu menjadi pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan draft revisi Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 perlu mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016