"Seperti yang saya katakan, kita tidak akan membikin seperti Tahanan Guantanamo (tahanan khusus teroris di Amerika Serikat). Itu tidak akan menghentikan masalah, justru malah memperbesar konsentrasi," kata Kalla, di Jakarta, Jumat.
Tahanan bagi pelaku teror memang harus lebih ketat, namun tidak berarti harus ditempatkan di satu tempat yang berisi terdakwa pelaku teror.
"Ini bagaimana caranya supaya bisa lebih ketat, tetapi tidak dalam satu tempat. Pengalaman seperti di Guantanamo itu justru lebih berbahaya," katanya.
Rencana revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memunculkan wacana untuk membentuk penjara khusus bagi para pelaku aksi teror di Indonesia.
Namun, Pemerintah tidak akan memasukkan pembentukan penjara baru dalam pasal revisi UU tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menilai pelaku teroris jangan diperlakukan istimewa dengan dibuatkan lembaga pemasyarakatan khusus. Menurut dia, teroris lebih baik ditempatkan di LP biasa namun harus disediakan blok atau sel khusus sehingga tidak campur dengan napi lain.
"Kalau ada lapas khusus, siapa yang akan mengawasi karena lembaga pemasyarakatan kewenangannya ada di Kementerian Hukum dan HAM," katanya.
Djamil menilai doktrin radikalisme harus dilawan dengan aksi nyata misalnya disebabkan pembangunan yang tidak merata seperti wilayah Indonesia timur. Selain itu menurut dia bisa disebabkan aparat intelijen kurang berfungsi baik.
Dia menilai harus ada kerja sama antarlembaga dalam menangani napi teroris di lapas sehingga tidak bisa mengandalkan Kementerian Hukum dan HAM dalam upaya deradikalisasi dan menekan ideologi radikal.
Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016