"Produk bank sampah itu bukan berarti tidak bernilai, karena kami menciptakannya sebagus mungkin dan berkualitas tinggi sehingga pemakainya tidak merasa minder atau malu. Buktinya warga Switzerland (Swiss) menyukai," ujar pendiri bank sampah GWL Ni Wayan Riawati di Peguyangan, Denpasar, Jumat.
Produk yang telah dipesan konsumen dari Switzerland mayoritas adalah tempat pensil, tas dan trendy bag untuk ibu-ibu jika hendak berbelanja di pasar.
Bahan baku produk itu adalah plastik kemasan kopi dan beraneka minuman tuang, yang mengandung "aluminium foil". Plastik itu harus potongt dengan rapi menggunakan pisau atau gunting jika hendak dipergunakan sebagai bahan baku tas atau tempat pensil. Jika dipotong sembarangan, plastik kemasan itu hanya merupakan sampah biasa.
"Harga produk yang kami tawarkan bermacam-macam. Kalau tempat pensil, kisarannya Rp20 ribu - Rp35 ribu. Travel bag, harganya mencapai Rp700 ribu, karena banyak memerlukan bahan dan lamanya waktu pengerjaannya," ujar Riawati.
Dikatakan dia, perajin yang mengerjakan produk-produk itu tersebar di beberapa daerah di Bali, sesuai daerah keanggotaan bank sampah. Salah satunya adalah karang taruna karya Darma di Desa Seraya Barat, Karangasem.
Kendala terbesar dalam mengembangkan usaha produk dari bahan baku sampah, dikarenakan minimnya jumlah perajin yang mau bekerja sama dan ulet dalam mengolah sampah menjadi produk berguna.
Ibu-ibu di Bali, ujarnya, mayoritas sibuk dengan berbagai macam kegiatan untuk mempersiapkan upacara keagamaan, sehingga waktu luangnya menjadi terbatas. Akibatnya, beberapa penjahit yang direkrut bank sampah untuk membuat produk justru berasal dari luar Bali, agar proses produksi terus berlangsung.
"Kalau tidak merekrut karyawan dari luar, sulit sekali kami bisa membuat produk. Sementara pesanan selalu saja ada setiap bulan, apalagi jika mau pameran, kami tentu harus stok produk," kata dia.
Riawati mengharapkan, masyarakat yang tergerak untuk memanfaatkan sampah kian bertambah jumlahnya, untuk mengurangi jumlah sampah di muka bumi ini. Padahal, jumlah anggota bank sampah mencapai 6.030 orang se-Bali, namun yang berkontribusi mau memilah sampah organik dan non-organik baru dua persen saja.
"Kami juga berharap, agar guru-guru di sekolah khususnya guru pelajaran keterampilan agar mengajarkan muridnya membuat produk dengan bahan sampah. Kreasi murid-murid akan kami tampung, karena pasar produk dari sampah tidak pernah sepi. Bukan hanya dari Switzerland, bahkan beberapa waktu lalu ada juga pembeli dari Inggris yang memborong produk kami saat pameran," ujarnya.
Pewarta: Vivi Suryani dan Gembong Ismadi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016