Bincang-bincang dengan seniman Entang Wiharso

30 Januari 2016 12:14 WIB
Bincang-bincang dengan seniman Entang Wiharso
Perupa Entang Wiharso, 49, kelahiran Tegal, Jawa Tengah, berdiri di depan karya seni rupanya berjudul "Promising Land". Pameran ini akan berlangsung hingga 1 Februari 2016. ( ANTARA FOTO/Dodo Karundeng)
Jakarta (ANTARA News) - Kamis 14 Januari 2016, bom dan baku tembak terjadi di kawasan MH Thamrin Jakarta Pusat.

Pada hari yang sama, 4,3 km dari lokasi teror  itu, di Galeri Nasional Jakarta seniman Entang Wiharso membuka pameran kolaborasi dengan seniman asal Australia Sally Smart yang bertajuk "Conversation: Endless Acts in Human History" .

Entang dan Sally mempresentasikan karya-karya berdasar pengalaman dalam melihat dan mengalami kesenjangan, kewenang-wenangan, stigma, ras, sosial, dan agama yang membentuk karakter mereka. Entang, dalam wawancara dengan ANTARA News, menganggap dua peristiwa di hari yang sama itu bukan  kebetulan, ada relevansinya.

Pada hari pembukaan pameran ini, terjadi teror bom di kawasan MH Thamrin. Apa yang anda rasakan saat itu?
Saya merasa ada relevannya, bukan kebetulan. Saya seperti shock, tetapi satu sisi saya sadar persoalan manusia tidak pernah berhenti.
Makanya, saya masih punya ambisi untuk terus berkarya seperti ini, untuk mengingatkan diri saya, diri kita.

Menurut anda, kenapa teror seperti itu masih terus meneror di tengah masyarakat?
Kenapa itu terjadi karena kalau dulu dunia belum terlalu terbuka seperti sekarang, kalau ada informasi perjalanannya lama sekali sampai orang mendengarnya.
Di dalam itu ada sublimasi, evolusi dari kejadian itu. Kalau sekarang, itu langsung ditangkap mentah-mentah, langsung cepat.
Apakah kita sebenarnya siap dengan arus informasi yang seperti itu, karena bisa juga menstimulasi yang lain. Makanya, yang perlu dibangun adalah toleransi, hal yang membuat kita sadar, aware.

Anda percaya karya seni bisa membangun kesadaran seseorang?

Saya harus percaya, percaya banget tentang itu karena yang saya kerjakan dasarnya ide. Tentu dalam karya itu akan membangun juga rasa yang lain, estetika juga dipikirkan karena untuk menopang sebagai satu kesatuan dan memberikan sesuatu yang baik.

Lalu, apa yang anda dan juga Sally ingin sampaikan lewat pameran ini?
Kami berdua sebagai seniman profesional yang ingin menyebarkan ide kami kemana-mana, tentang isu-isu yang kami fokuskan, terutama soal toleransi.
Saya percaya kalau seni bisa menghancurkan segala batasan karena seni bersifat universal, meskipun misal ada muatannya yang bersifat lokal, tetapi tetap bisa mengkoneksikan segala bentuk identitas dan perspektif. Kami sangat bahagia bisa sharing itu.

Misalnya pada karya mana yang mengangkat isu kemanusiaan saat ini?
Misal tentang pengungsi pada karya saya yang berjudul "Promising Land". Metaforanya adalah ketika ada teror penembakan di Prancis.
Kalau dilihat lebih detail, karya tersebut memuat mobil Chevrolet asal Amerika sedangkan lisensi platnya itu dari Prancis yang saya cari lewat internet dan saya dapat plat AB itu, plat yang sama juga dengan Yogyakarta dimana saya tinggal. Itu seperti kebetulan tetapi saya pikir bukan kebetulan.

"Promising Land" berupa sebuah mobil yang dibuat dari elemen resin, mobil tersebut disesaki oleh orang-orang yang bertumpuk-tumpuk dengan barang-barang, sementara di bagian kemudi tampak orang bertopeng dan satu orang lagi yang berdasi sedang memegang pistol.
Di atasnya ada monitor televisi yang menampilkan foto-foto pemandangan tempat yang pernah di singgahi Entang, mulai dari pemandangan belakang rumahnya dekat Candi Prambanan, pemandangan di New York  dia tinggal di kota itu).
Tempat itu menurut Entang "yang membuat saya ingin hidup di situ."

Apa tujuan anda membuat karya tersebut?
Saya ingin menggambarkan migrasi pengungsi dari satu tempat ke tempat lain. Saya ingin capturing orang Suriah yang migrasi ke Eropa. Yang terjadi kan tidak semudah itu, ada banyak persepsi apa benar refugee atau mau radikal. Jadi sangat kompleks persoalan kemanusiaan itu.

Karya lain soal kemanusiaan?
Ini karya yang saya ciptakan tahun 2010 berjudul Chronic Satanic Privacy. Meskipun karya ini sudah lama dibuatnya tetapi masih relevan, artinya seni itu selalu relevan dalam waktu kapan saja. Karya ini menunjukkan toleransi. (karya tersebut lima sosok menyerupai manusia dan binatang yang menjulurkan lidahnya dari balik jeruju besi, red.).

Pada karya ini saya ingin menggambarkan ada transformasi antara manusia atau binatang, tidak jelas pokoknya, seperti ada evolusi di situ. Misalnya, lidah itu kan organ yang lembut, fragile, tapi bisa tajam untuk doktrin. Dan sering kita bilang "dia seperti binatang" tapi kadang enggak juga, manusia kadang-kadang lebih horor dibanding binatang. Kalau binatang untuk survive, manusia itu membunuh untuk kekuasaaan, kesenangan, itu berbeda jauh. Karya ini mendefinisikan hal itu.

****

Entang merupakan seniman kelahiran 19 Agustus 1967 yang menempuh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dalam pamerannya ini, Entang menghadirkan karya-karya dari berbagai material dan teknik yakni melukis, menggambar, mencetak, memotong, berprasangka dan membebaskan, seperti metafora di dalam pola relasi-komunikasi dalam masyarakat. Pola kerja dan karya-karyanya merefleksikan kondisi masyarakat dimana ia berada di dalamnya dan berinteraksi. Entang melihat persoalan masyarakat dari dalam dan luar.

Kondisi Chaotic (kekacauan) dalam pandangan bapak dua anak itu merupakan cerminan struktur "arsitektural" masyarakat. Sementara itu, teknik cut out, menurut Entang, merupakan manifesto untuk membedah dan membongkar pengalamannya dalam menghadapi kondisi chaotic di masyarakat dalam presentasi visual.

Begitu pun dengan Sally, cara kerja mereka berdua memiliki kesamaan yang signifikan dengan memotong, menggunting, menempel, cut out, dan menggunakan warna untuk arti khusus. Meskipun latar budaya mereka berbeda, akan tetapi pengalamannya terkait dengan persoalan-persoalan kemanusiaan, ideologi, dan identitas menjadi titik simpul pertemuan.

Apakah anda melihat bahwa masyarakat sudah semakin berminat untuk menikmati karya seni?

Ini menarik, ternyata kita memang perlu sesuatu tidak hanya gedung yang megah, mall, baju bagus, tetapi perlu sesuatu yang lain yaitu culture (budaya). Apalagi Jakarta ini, kita seperti hidup di dunia hantu, seperti eksis tapi sebetulnya tidak. Jadi saya kira, saatnya kita perlu karena kita sudah bosan dengan hal-hal seperti itu, di bawah sadar kita kita memerlukan seni dan budaya.
Bahkan kalau di New York, orang rela antre berjam-jam dan disuruh bayar pula. Saya juga pernah antre di museum di Rusia, saat musim dingin tangan sudah kaku hampir dua jam, tetapi dibela-belain karena ingin melihat sesuatu yang belum kita lihat.
Mengenal seni dan budaya bisa menjauhkan orang dari pikiran fanatik, sama seperti olahraga.

Jadi seni bisa menjauhkan dari kekerasan?

Idealnya seperti itu. Orang-orang yang kemarin melakukan kekerasan kita lawan dengan sesuatu yang humanis, dengan belajar sejarah, belajar karya seni. Dengan begitu, kita akan diingatkan, kita akan melihat hal-hal tidak hanya tentang diri sendiri tetapi kehidupan lain.

Oleh Monalisa
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016