Tas kresek pasar swalayan kini tidak gratis

2 Maret 2016 11:21 WIB
Tas kresek pasar swalayan kini tidak gratis
Konsumen membawa barang yang telah dibeli menggunakan kantong plastik di salah satu mini market di Pasar baru, Jakarta, Minggu (21/2). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta (ANTARA News) - Konsumen tempat perbelanjaan, baik pasar swalayan maupun minimarket, kini tidak lagi mendapatkan kantong plastik atau tas kresek untuk membawa barang belanjaan secara gratis.

Pemerintah dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sepakat memberlakukan penggunaan kantong plastik berbayar seharga Rp200 per buah untuk mengurangi limbah plastik mulai 21 Februari 2016 bertepatan dengan Hari Peduli Sampah Nasional.

Sejumlah kota telah melakukan seremonial pencanangan tas kresek berbayar itu meski dengan harga yang berbeda.

Saat ini pelaksanaan ketentuan itu masih uji coba. Jika tidak ada masalah, ketentuan itu terus berlanjut, antara lain dengan akan diatur berdasarkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Kesepakatan tersebut diperoleh usai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggelar pertemuan dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional(BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Aprindo.

Hasilnya telah disosialisasikan melalui surat edaran KLHK kepada Kepala Daerah melalui surat nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar.

Selama masa uji coba, kata Ketua Umum Aprindo Roy N. Mandey, pemerintah, BPKN, YLKI, dan Aprindo sepakat bahwa pengusaha ritel modern tidak lagi menyediakan kantong plastik secara cuma-cuma untuk konsumen.

"Mekanismenya sama seperti membeli produk lainnya, kasir akan scan barcode kantong plastik dan bukti pembayarannya akan tertera pada struk belanja," katanya.

Roy juga menjelaskan bahwa spesifikasi kantong plastik yang digunakan ritel modern juga telah ditentukan, yaitu hanya yang ramah lingkungan, yakni menimbulkan dampak lingkungan paling minimal serta memenuhi standar nasional yang ditetapkan pemerintah.

Hal itu tidak jadi soal karena beberapa anggota Aprindo memang sudah menggunakan plastik jenis oxo biodegradable yang lebih mudah terurai.



Uji Coba

KLHK menargetkan uji coba sampai 6 bulan dengan evaluasi berkala 3 bulan sekali. Jika program ini berhasil, menurut Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, sistem ini akan diatur dalam regulasi peraturan menteri.

Menurut dia, persoalan sampah merupakan kewenangan pemerintah kota, sementara pemerintah pusat memberikan pendampingan, dukungan, dan standarnya.

Sebanyak 22 kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Balikpapan, Makassar, dan Surabaya, serentak memberlakukan sistem tas kresek berbayar itu.

"Sistemnya diatur oleh pemerintah provinsi sampai tingkat kota," kata Nurbaya.

Menteri mengatakan bahwa pemerintah memfasilitasi dan mendukung seluruh provinsi, kabupaten, kota, hingga kecamatan dan desa untuk melakukan pengurangan dan penanganan sampah melalui program kantong plastik berbayar.

KLHK menetapkan harga minimal standar Rp200 untuk setiap kantong plastik. Namun, sejumlah kota memberikan harga yang lebih tinggi agar masyarakat lebih terbebani dan berinisiatif untuk membawa tas belanja sendiri dari rumah.

Sebagai contoh, Pemprov DKI Jakarta memberlakukan harga Rp5.000,00 di seluruh tempat perbelanjaan, baik pasar swalayan maupun minimarket.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat mengatakan bahwa deklarasi pemberlakuan kantong plastik berbayar karena sebagian besar sampah di Jakarta berasal dari kantong plastik yang baru bisa terurai selama 500 hingga 1.000 tahun ke depan.

Uji coba kantong plastik di Jakarta telah dilakukan sejak sebulan lalu dan akan dievaluasi sebagai tindak lanjut untuk membuat regulasi ke dalam peraturan gubernur (pergub) atau peraturan daerah (perda).

Sementara itu, Balikpapan menerapkan harga Rp1.500,00 per kantong dan Makassar Rp4.500,00.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan bahwa seluruh hasil penjualan kantong plastik yang disediakan oleh perusahaan ritel minimarket dan pasar swalayan akan dialokasikan untuk pembinaan edukasi konsumen dengan harapan masyarakat sadar untuk mengurangi sampah.



Lebih Praktis

Duta Lingkungan Hidup Tasya Kamila mengatakan bahwa berbelanja lebih praktis jika membawa tas sendiri dari rumah daripada menggunakan tas kresek yang justru tidak terpakai dan menjadi sampah rumah tangga.

"Sebenarnya lebih praktis bawa tas sendiri misalnya yang besar. Mau beli baju ataupun makanan cukup bawa satu tas jinjing," kata Tasya.

Penyanyi yang terkenal dengan lagu "Anak Gembala" tersebut mengatakan bahwa kebiasaan membawa tas jinjing ketika berbelanja sudah dilakukannya sejak SMA, bahkan dirinya menolak jika sang kasir memberinya tas kresek.

Tasya yang juga mempromosikan gerakan Indonesia Bebas Sampah 2020 melalui akun Twitter dan Instagramnya pun mengajak masyarakat seluruh Indonesia untuk menyukseskan program kantong plastik berbayar yang dicanangkan oleh KLHK.

Sementara itu, Duta Lingkungan UNESCO Agustinus Gusti Nugroho atau Nugie mengapresiasi adanya peraturan itu.

"Sudah baik kampanyenya. Namun, regulasinya yang perlu diperhatikan. Apa dijalankan atau tidak, apalagi masih ada perundingan harga yang dikompensasi konsumen," kata musisi yang rajin bersepeda ke lokasi kerja.



Rasional

YLKI menyatakan kebijakan plastik berbayar pada sektor ritel modern itu merupakan hal yang rasional.

Menurut Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, peraturan itu rasional karena diberlakukan demi menjaga dan mengurangi tingkat kerusakan lingkungan yang lebih parah, mengingat konsumsi kantong plastik di Indonesia tergolong tinggi, yaitu 9,8 miliar kantong plastik per tahunnya, atau nomor dua di dunia setelah Tiongkok.

Dengan adanya kebijakan plastik berbayar, diharapkan ada perubahan perilaku konsumen saat berbelanja di pasar modern, misalnya membawa bungkus/wadah atau tas sendiri saat berbelanja serta tidak meminta bungkus plastik secara berlebihan.

Namun, Tulus menilai dengan nominal Rp200 per kantong plastik belum akan memberikan efek jera bagi konsumen untuk tidak menggunakan kantong plastik. Oleh karena itu, dia mengharapkan kebijakan itu dievaluasi secara rutin per 3 bulan.

"Dengan demikian, penerapan plastik berbayar benar-benar bisa menjadi disinsentif bagi konsumen. Akan tetapi, dengan tetap memperhatikan aspek daya beli konsumen," katanya.

Ia juga menekankan pemerintah agar bersikap adil dan seimbang dengan memberikan disinsentif pada produsen dengan tujuan tidak berlebihan dalam mengonsumsi plastik saat melakukan produksi.

"Produsen harus diwajibkan menarik dan mengumpulkan bekas kemasan plastik di pasaran yang jelas-jelas merusak lingkungan. Produsen juga wajib membuat kemasan dan bungkus plastik yang mudah diurai oleh lingkungan dan bisa digunakan ulang," katanya.

Dana dari kantong plastik itu juga dipandang oleh YLKI, harus dikelola secara independen atau melalui badan khusus yang dipakai untuk kegiatan pengendalian pencemaran lingkungan.

"Badan khusus ini bisa terdiri atas unsur pemeritah dan masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat. Setiap tahun harus diaudit. Jadi, dana tersebut tidak boleh dikelola oleh ritel. Mereka hanya bertugas pengumpul saja," katanya.

Pewarta: Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016