Pertanyaannya, mana yang harus didahulukan, penanganan "hard terrorism" atau "soft terrorism"? Keduanya tentu tidak boleh dibiarkan. Negara harus hadir untuk menyelamatkan masyarakat dari gerakan radikalisme dan terorisme dalam bentuk apa pun.
Munculnya gerakan teror dan konflik dilatarbelakangi oleh banyak faktor, antara lain faktor kekuasaan atau politik, ekonomi, agama, ideologi, atau indoktrinasi dari lingkungan.
Perebutan kekuasaan kerap kali menimbulkan gerakan radikal dan teror berupa aksi kekerasan, pembunuhan, pengrusakan, dan pembakaran fasilitas umum.
Begitu pula, ketika terkait dengan konflik ekonomi, agama, ideologi, dan doktrin-doktrin tertentu.
Sebenarnya, ada hal yang sangat berbahaya bagi bangsa dan negara, yaitu teror dalam bentuk pemikiran, budaya, legalisasi peraturan, dan narkoba yang kesemuanya merupakan "soft terrorism".
Teror secara pemikiran sungguh sangat berimplikasi kuat terhadap tatanan kehidupan karena "annadhariyyatu asyaddu minal amaliyyati" (dampak pemikiran lebih berbahaya daripada perilaku).
Misalnya, pemikiran seseorang yang mengampanyekan orang hidup tidak harus bertuhan (ateis) yang tentunya lebih berbahaya daripada orang yang diam dan hidup tidak percaya kepada Tuhan.
Demikian pula, orang yang secara kodrati termasuk lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) lebih berbahaya daripada orang yang bukan LGBT tapi menjustifikasi dan mengampanyekan masyarakat menjadi LGBT, bahkan mendorong adanya legalisasi pernikahan sejenis.
Masalah LGBT tidak bisa diselesaikan melalui pendekatan hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi karena pada hakikatnya LGBT merupakan kelainan seksual dalam perikehidupan seseorang.
Pendekatan yang benar untuk menyelesaikan masalah LGBT adalah melalui prevensi dan rehabilitasi sehingga seseorang bisa kembali menjadi normal secara seksual dalam kehidupannya sehari-hari.
Begitu juga budaya. Ketika masyarakat mentradisikan budaya yang bertentangan dengan norma agama dan moral seperti mandi telanjang bersama lain jenis di ruang publik yang konon menjadi tradisi di negara tertentu, sudah barang tentu budaya itu merupakan bentuk teror yang halus dan berbahaya bagi moralitas bangsa.
Teror juga bisa mewujud dalam bentuk legalisasi peraturan atau undang-undang. Misalnya, adanya peraturan impor tanpa batas terhadap gula rafinasi dari negara produsen gula.
Akibatnya, akan terjadi "tsunami gula" di Indonesia dan para petani tebu akan merugi, bahkan pabrik-pabrik gula bisa tutup karena gulanya tidak akan terjual di pasaran.
Masalah ini juga bisa terjadi pada berbagai produk pertanian dan peternakan.
Kemudian, juga masalah narkoba. Teror dalam bentuk peredaran obat haram narkoba sungguh lebih berbahaya daripada bentuk teror lainnya. Narkoba merusak, bahkan bisa membunuh generasi bangsa.
"Soft terrorism" seperti peredaran narkoba ini harus menjadi perhatian serius dan segera ada penindakan tegas dari aparat agar tidak menyebarluas di Bumi Pertiwi.
Sementara itu, kini ada tantangan yang sedang dihadapi masyarakat, di antaranya peranan media massa. Informasi yang disuguhkan media sangat mungkin mengubah pikiran, sikap, dan perilaku seseorang.
Bahkan, kebijakan pemerintah pun tidak bisa langsung tersosialisasi secara masif di tengah masyarakat karena pada saat informasi kebijakan atau keputusan pemerintah masuk pada ruang media yang memiliki kepentingan berbeda, konten media menjadi bahan diskusi pro dan kontra di tengah masyarakat. Media saat ini dikuasai oleh pihak swasta yang terkadang berbeda persepsi dan kepentingan dengan pemerintah.
Tantangan lain adalah perkembangan teknologi informasi. Dengan kecanggihan teknologi informasi, dunia saat ini seperti tanpa batas. Pikiran, sikap, perilaku, dan budaya negara lain bisa saja ditiru oleh masyarakat Indonesia.
Menjaga identitas budaya akan menjadi berat pada saat ruang terbuka teknologi sudah bisa dilihat dan dinikmati dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Terakhir adalah tantangan hak asasi manusia (HAM). Isu penegakan HAM menjadi persoalan tersendiri yang perlu disikapi secara rasional dan arif. Sekarang ini HAM seolah berada di atas kitab suci agama dan dasar negara.
Dengan bungkus demokrasi, HAM menjadi benteng dari kebebasan hidup manusia. Paksaan legitimasi atas dasar HAM terhadap perilaku kehidupan manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai kitab suci, ajaran agama, dan dasar negara sering menjadi "trending topic" di Indonesia belakangan ini.
Oleh karena itu, dalam menghadapi bentuk-bentuk radikalisme, terorisme, dan tantangan bangsa dan negara diperlukan adanya sinergi dan program yang integrative dari berbagai elemen bangsa dan negara sesuai dengan kapasitas dan fungsi masing-masing.
Tentu, adalah sangat urgen mencari hulu dan hilir dari gerakan terorisme, baik "hard terrorism" maupun "soft terrorism" yang mendera dan bersemayam di bumi Indonesia. Pada intinya, negara harus mampu menyelamatkan warganya dari terorisme dan radikalisme dalam bentuk apa pun.
*) Penulis adalah tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) dan pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam Sukorejo, Bangsalsari, Jember.
Oleh HM Misbahus Salam*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016