"Kami sediakan bagi para pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Mereka biasanya tidak punya uang, jadi pakai sampah plastik," kata Sarimin (54), pengelola warung itu di Semarang, Senin.
Sarimin mengelola warung makan yang berlokasi di Kompleks TPA Jatibarang, Semarang, itu, bersama sang istri, Suyatmi (52). Usaha kuliner itu baru dimulainya sejak Januari 2016.
Berbagai menu makanan pun tersedia, mulai nasi rames, nasi mangut, nasi telur, dan nasi dengan lauk lele, serta berbagai minuman seperti warung kaki lima biasa dengan harga terjangkau.
Alhasil, warung makan yang dikelola pasangan suami istri itu "diserbu" pemulung, seperti diakui Sarimin, setidaknya ada 20-25 pemulung yang datang untuk makan di warungnya setiap hari.
"Kalau ramai biasanya pagi atau sore hari. Biasanya, sore hari kan para pemulung sudah selesai bekerja. Setiap hari, kalau dihitung ada sektar 20-25 pemulung yang makan di sini," katanya.
Untuk membayar makanan yang dipesannya, kata dia, para pemulung pun cukup memberikan sampah plastik sebanyak satu bungkus yang biasanya bisa berisi antara 15-20 kilogram (kg).
Ia menyebutkan satu kg sampah plastik dihargai Rp400, sementara untuk satu bungkus plastik yang biasanya berisi antara 20-25 kg kalau dirupiahkan bisa mencapai nilai Rp7.000-8.000.
"Jadi, sampah plastik ini sebagai pengganti uang yang dibayarkan. Dulu, mereka (pemulung, red.) sering utang untuk makan. Akhirnya, saya mikir, mereka bayar saja pakai plastik," katanya.
Alasan untuk menghindari banyaknya pembeli yang utang itulah, diakui Sarimin, menjadi ide awalnya menciptakan sistem pembayaran unik itu, di samping inovasi agar warungnya tambah laris.
Selain itu, bapak dua anak tersebut mengaku semua kebutuhan warungnya sudah tercukupi dari pengelola TPA, mulai pasokan listrik, air, dan gas metana yang memanfaatkan pengolahan sampah.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016