Selamatkan budi daya kerapu di Teluk Lampung

17 Maret 2016 20:44 WIB
Selamatkan budi daya kerapu di Teluk Lampung
ikan laut, ikan, kerapu merah, ikan karang. (FOTO ANTARA/Ampelsa)
Bandarlampung (ANTARA News) - Kerapu cantik yang merupakan hasil perkawinan silang antara kerapu batik (Epinephelus microdon) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) tetap menjadi pilihan pertama bagi pembudidaya kerapu di Teluk Lampung.

Mengapa pembudidaya memilih jenis itu sebab jenis ikan itu lebih tahan terhadap penyakit dan permintaan atasnya tinggi dari pasar luar negeri, terutama dari Hongkong.

Akan tetapi, kerapu cantik itu kini terancam "tidak elok" lagi bagi ratusan pembudidaya komoditas ekspor itu, karena terbatasnya kapal pengirimannya ke pasar luar negeri, serta makin sulit mendapatkan ikan-ikan kecil sebagai makanan kerapu tersebut.

Menurut Pembina Forum kerapu Keramba Jaring Apung Lampung, Edward Sialagan, kerapu cantik bisa dipanen sekali dalam 16 bulan. Pertumbuhannya termasuk cepat, dan harganya pun juga tinggi, yakni sekitar Rp140.000/kg.

Jika harga kerapu batik mencapai Rp40.000/kg dan kerapu macan Rp120.000/kg, kerapu cantik seharga Rp140.000/kg sudah menguntungkan bagi pembudidaya. Meski demikian, harga kerapu cantik masih di bawah harga kerapu bebek yang mencapai Rp300.000/kg.

"Pembudidaya lebih memilih kerapu cantik daripada kerapu bebek meski harganya jauh lebih mahal, karena kerapu bebek rentan penyakit. Kalau kita pelihara 10 ribu ekor, paling hasil panennya sekitar 3 ribu ekor; jadi tidak menguntungkan," katanya.

Di perairan Teluk Lampung sekitar sepuluh tahun lalu memang sempat menjamur budi daya kerapu, seperti di kawasan Ringgung, Pahawang, Ketapang, Legundi dan Kepulauan Legundi Lampung.

Meski di perairan Teluk Lampung itu juga dikembangkan berbagai jenis kerapu lainnya, namun para pembudidaya lebih suka mengembangkan kerapu cantik karena lebih menguntungkan.

"Hampir 80 persen kerapu yang dibudidayakan di Teluk Lampung adalah kerapu cantik. Tiap bulan, Lampung bisa menghasilkan 20-30 ton kerapu, terutama kerapu cantik. Kendalanya bagi kami adalah pemasarannya ke luar negeri, karena ikan ini harus hidup sampai ke tangan pembeli," katanya.

Berat kerapu cantik berusia 16 bulan bisa mencapai sekitar 7 ons dengan panjang 10 cm, dan itu merupakan ukuran ideal untuk pasar luar negeri.

Ia menyebutkan harga kerapu terletak di nyawanya. "Jika ikan kerapu mati maka menjadi tak berharga tinggi lagi," katanya.

Sementara itu, saingan ekspor kerapu Lampung juga tinggi, terutama dari Singapura, Malaysia dan Vietnam. Peternak kerapu Malaysia memilih membudidayakan kerapu cantang yang merupakan hasil kawin silang kerapu macan dan kerapu Kertang (Epinephelus lanceolatus).

Dia menyebutkan pembudidaya di Lampung memilih kerapu cantik dibandingkan kerapu cantang Malaysia, karena lebih mudah memeliharanya, apalagi kerapu cantik itu temuan putera Indonesia yang dibudidayakan secara masif mulai 2011.

Para pembudidaya sependapat bahwa potensi perikanan di Provinsi Lampung sangat besar, terutama budi daya ikan yang bernilai ekspor, seperti kerapu.

"Stok kerapu sampai Desember 2016 di Teluk Lampung ada sekitar 400- 500 ton kerapu cantik, belum lagi kerapu jenis lainnya, dan semuanya tujuan ekspor," katanya.

Sementara itu, data Pemprov Lampung menunjukkan produksi ikan kerapu bebek 2015 mencapai 413,63 ton dan kerapu macan mencapai 196,26 ton.


Selamatkan budi daya

Kerapu saat ini termasuk salah satu penghasil devisa negara. Karena itu, budi daya ikan kerapu perlu diselamatkan dengan membangun prasarana dan sarana pemasarannya, terutama kapal untuk mengangkutnya ke pasar luar negeri.

Peran pemerintah untuk menyelamatkan usaha budi daya kerapu perlu sehubungan ada faktor-faktor yang menghambat berkembangnya budi daya kerapu di Lampung, yang menyebabkan ratusan pembudidaya kerapu sudah bangkrut.

Faktor alam juga menentukan nasib usaha keramba ikan di Teluk Lampung. Pada 2013 lalu, lebih dari 360 ribu ekor ikan mati di kawasan Pantai Ringgung Teluk Lampung. Sebagian besar ikan yang mati itu justru dibudidayakan di keramba apung.

Nilai kerugian akibat fenomena "red tide" atau meledaknya populasi plankton Alga Cochlodinium Polykrikoides diperkirakan sedikitnya Rp8 miliar.

"Akibatnya, banyak petambak yang gulung tikar,"kata Rudy, salah satu pembudidaya kerapu di Teluk Lampung.

Kini hanya tersisa 10 pembudidaya kerapu di perairan Ringgung, padahal sebelumnya mencapai 80-100 orang.

Rudy menyebutkan dirinya menggeluti usaha budi daya ikan kerapu sejak 2002, dan sekarang membudidayakan sekitar 6 ribu ekor di perairan Pahawang Lampung.

Pembudidaya kerapu lainnya di kawasan Pahawang, Herdyan, menyebutkan kurangnya prasarana, seperti kapal ekspor ikan, juga mengancam kelanjutan budi daya ikan kerapu di Lampung.

"Jika kapal asing dilarang mengangkut ikan hasil budi daya maka harganya pasti anjlok, dan petambak yang rugi, karena belum ada kapal dalam negeri yang bisa dipakai untuk mengirimkan kerapu dalam keadaan hidup ke pasar luar negeri," katanya.

Ia menyebutkan dirinya menggeluti budi daya kerapu sejak 2001, dan kini membudidayakan 10 ribu ekor kerapu cantik di perairan Pahawang Teluk Lampung.

Menurut para pembudidaya kerapu, pemerintah harus turun tangan untuk menyelamatkan usaha pembudidayaan ikan kerapu di daerah itu mengingat hasil budi dayanya sangat diminati pasar luar negeri.

"Jika usaha budi daya ikan kerapu di dalam negeri, seperti di Lampung, gulung tikar, akan merugikan banyak pihak, seperti para pembudidaya dan pekerjanya, nelayan dan negara. Padahal ikan kerapu sangat diminati pasar ekspor, dan persaingan dari negara lain juga makin tajam, seperti dari Malaysia dan Vietnam," kata Pembina Forum kerapu Keramba Jaring Apung Lampung, Edward Sialagan.

Edward yang sudah menggeluti budi daya kerapu sejak 1991 itu mengharapkan pemerintah ikut terlibat untuk menjaga keberlangsungan usaha budi daya ikan di Teluk Lampung.

Ia menyebutkan hal itu bisa dilakukan dengan menunda pemberlakuan Surat Edaran Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Surat edaran itu berisi tentang Kapal Pengangkut Ikan Hasil Pembudidayaan Berbendera Asing (SIKPI-A), memberikan izin khusus kepada sejumlah kapal cantrang tertentu untuk menangkap ikan kecil hanya untuk makanan kerapu, serta membangun prasarana ekspor budi daya ikan kerapu.

Surat Edaran No 721/DPB/PB.510.S4/II/2016 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KPP menyatakan tentang penghentian operasional bagi kapal pengangkut ikan hasil pembudidayaan berbendara asing (SIKPI-A) dengan cara : tidak menerbitkan izin baru bagi SIKPI, tidak memberikan perpanjangan, serta mencabut SIKPI yang masih belum habis masa berlakunya.

Menurut dia, dengan adanya Surat Edaran Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya KPP itu, maka pembudidaya akan sulit menjual hasil budi dayanya ke pasar luar negeri, karena belum ada kapal berbendera Indonesia yang layak mengangkut kerapu ke pasar luar negeri.

"Harga ikan kerapu tergantung nyawanya. Karenanya, ikan itu harus dalam keadaan hidup sampai luar negeri. Sejauh ini para pembudidaya mengirimkan ikannya melalui kapal asing ke Hongkong," tambahnya.

Ia menyatakan dalam kapal asing juga terdapat petugas Indonesia yang memungut pajak ekspor, dan sejauh ini belum ketahuan pernah membawa barang-barang terlarang dan zat-zat berbahaya lainnya ke perairan Teluk Lampung.

Selain itu, para pembudidaya kerapu juga berharap pemerintah memberikan izin khusus tertentu kepada kapal cantrang untuk menangkap ikan kecil yang menjadi makanan kerapu.

"Kami sudah coba menggunakan pelet, termasuk pelet produksi Jepang yang harganya mencapai Rp80 ribu per kg, namun pertumbuhan ikan sangat lamban, sehingga merugikan kami. Kalau kapal cantrang dilarang seluruhnya per Desember 2016 ini, maka usaha kerapu juga akan bangkrut," katanya pula.

"Jika usaha budi daya kerapu di dalam negeri bangkrut maka yang diuntungkan adalah negara lain, terutama Malaysia dan Vietnam. Kedua negara itu kini mengembangkan budi daya kerapu secara besar-besaran," katanya.

Ia menyebutkan pembudidaya dari Malaysia bahkan berani membeli induk kerapu macan seharga Rp5 juta/kg.

"Kalau seekor induk kerapu macan berukuran 5-10 kg, maka harga perekornya mencapai Rp25 juta sampai Rp50 juta. Sejauh ini kita belum mau menjual induk kerapu ini, agar budi daya kerapu di dalam negeri tetap berlangsung," katanya.

Sehubungan kerapu merupakan komoditas ekspor Lampung yang bernilai tinggi, dan pangsa pasarnya cukup besar meski mendapatkan saingan dari negara lain, para pembudidaya berharap pemerintah pusat dan daerah tetap ikut terlibat menjaga keberlangsungan usaha budi daya tersebut dengan mengeluarkan regulasi yang mendorong perkembangan pembudidayaan kerapu dan ikan laut lainnya.

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016