Eka Kurniawan memiliki gaya bercerita yang khas, dengan perpindahan plot maju mundur seperti melantur namun secara pasti membangun sebuah kesatuan narasi.
Ibaratnya anda tengah duduk nyaman menghadiri sebuah acara mendongeng, sementara Eka masuk sebagai pencerita membawa selembar kertas yang dengan mantap disobeknya kemudian ia lemparkan ke udara. Selepas itu, ia memulai dongengnya dengan memunguti satu per satu sobekan secara acak dan membacakan tiap-tiap paragraf yang tersisa dalam sobekan tersebut. Demikianlah, Eka Kurniawan.
Eka melakukan hal serupa dalam novel terbarunya, novel keempat dalam deretan bibliografi penulis kelahiran Tasikmalaya tersebut, berjudul "O".
Bedanya, kertas yang ditenteng Eka bukan semata satu lembar, tetapi berlembar-lembar. Di tiap lembarnya, terdapat sebuah cerita yang bisa berdiri sebagai sebuah entitas sendiri. Dengan kepiawaiannya, Eka merajutnya menjadi satu bangunan cerita yang saling menguatkan satu sama lain.
"Tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut", demikian pengantar superringkas yang disematkan di sampul belakang novel tersebut.
Lewat "O", Eka kian berhak untuk ditahbiskan sebagai seorang pendongeng. Sebab "O", ditulis dalam kerangka sebuah fabel. Memperlihatkan beberapa hewan yang berbicara antara satu sama lain. Namun di "O", bukan hanya hewan yang berbicara dan memiliki kerangka berpikir, di dalamnya terdapat sejumlah benda yang juga bercerita dari sudut pandang masing-masing.
Sekali lagi, jangan tertipu dengan judul yang pendek dan pengantar yang tak kalah pendek untuk sebuah novel bertebal 478 halaman. Eka mengisahkan begitu banyak karakter yang nasibnya secara langsung maupun tidak langsung beririsan dengan kisah si monyet, O.
Di lima bab pertama saja, anda akan disuguhkan kepingan beragam kisah, tentang O dan monyet tunangannya Entang Kosasih. Tentang kerumitan nasib polisi baik, Sobar, dengan preman Toni Bagong, Dara, dan revolver miliknya.
Anda juga akan bertemu cerita O dengan si majikan sirkus topeng monyet yang "mengasuhnya", Betalumur, si anjing kecil Kirik dan kaleng sarden. Ada juga kepingan narasi yang melibatkan Kirik, ibunya Wulandari, Jarwo Edan dan Rudi Gudel. Juga tentang Jarwo Edan dan Wulandari, bukan anjing.
Eka juga menyodorkan kepingan kisah pasangan pemulung Ma Kungkung dan Mat Angin yang bertemu seekor burung kakak tua bernama Siti. Selain itu juga ada kepingan kecil kisah antara Betalumur, Kirik dan Rini Juwita.
Silakan hitung sendiri sudah berapa banyak "sobekan kertas cerita" yang diangkat Eka dalam pembacaan lima bab pertama dongengnya itu.
Semakin anda membuka tiap lembar "O", kian banyak kepingan kisah yang dipepatkan Eka di dalam novel tersebut. Semua kepingan kisah pada dasarnya akan berkaitan dengan sikap beberapa tokoh menanggapi keinginan O untuk berubah menjadi manusia.
O dan tunangannya, hidup dalam kelompok monyet yang mendiami kawasan hutan di Rawa Kalong. Kelompok monyet yang berkeyakinan bahwa mereka bisa berubah menjadi manusia, berdasarkan kisah turun temurun tentang monyet yang berubah menjadi manusia, Armo Gundul.
Maka demikianlah "O", novel yang mengisahkan tentang O seekor monyet yang ingin berubah menjadi manusia dan menikahi Kaisar Dangdut.
Dendam tak lagi utama
Salah satu ciri khas dari novel-novel karya Eka adalah unsur dendam yang menjadi nyawa sekaligus menjadi bahan bakar dari narasi kisah-kisah yang terkandung di dalamnya. Tentu tak sulit untuk menyadari itu bila anda sudah membaca "Cantik Itu Luka" (2002), "Lelaki Harimau" (2004) dan "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" (2014).
Hal itu tidak berlaku dalam "O", sebab narasi utama cerita ini tidak dihidupkan oleh dendam. Anda mungkin masih menemukan perkara dendam di beberapa kepingan kisah yang ada di dalamnya, namun ia tak lagi menjadi nyawa utama dalam kisah Eka. Setidaknya di dalam "O".
Ayah dari Kidung Kinanti Kurniawan itu mengaku saat menyusun "O" dirinya terinspirasi dengan "Kisah 1001 Malam". Oleh karena itu pula Eka memepatkan beragam cerita untuk membangun kisah dengan premis utama seekor monyet yang ingin menikah dengan Kaisar Dangdut.
Meski menulis dalam bentuk fabel, Eka memperingatkan bahwa "O" bukan untuk konsumsi anak-anak. Bagi Eka, "O" adalah sebuah fabel untuk pembaca dewasa.
Bagi anda yang gemar menggunakan kutipan-kutipan untuk dijadikan caption foto-foto yang anda unggah di media sosial, jangan khawatir, "O" kaya dengan kutipan yang bisa anda comot dari dialog antar tokoh maupun narasi yang dituliskan suami penulis Ratih Kumala itu.
Atau anda bisa juga menciptakan kutipan sendiri dengan membubuhkan kesan yang didapat selepas membaca "O". Seperti penulis Djenar Maesa Ayu misalnya, yang meskipun mengaku belum merampungkan membaca "O", namun dari novel itu dirinya belajar bahwa "kita tidak akan bisa menentukan kepada siapa kita jatuh cinta, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita jatuh cinta".
Tunggu sebentar, jangan dulu bereaksi terhadap pernyataan Djenar, sebaiknya anda baca dulu "O" hingga rampung dan setelah menutupnya silakan putuskan apakah lewat "O" Eka betul-betul mengajarkan apa yang dikatakan Djenar atau tidak.
Oleh Gilang Galiartha
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016