Ia menjelaskan di Gorontalo, Minggu, sejarah kerusakan mangrove besar-besaran untuk dijadikan tambak tidak lepas dari pemerintahan masa lalu, dimulai pada saat Gorontalo masih bergabung dengan Sulawesi Utara.
Dari hasil analisis citra, kerusakan mangrove (bakau) paling banyak adalah pada saat Pohuwato baru saja menjadi kabupaten baru antara tahun 2003-2010.
Di jaman bupati pertama, Zainudin Hasan, ribuan orang diberikan peluang besar untuk menguasai lahan mangrove dan menjadikannya menjadi tambak.
"Selama 30 tahun terakhir, Pohuwato kehilangan mangrove 7,546 hektare atau setengah dari luasan yang ada. Cagar alam Tanjung Panjang seluas 3.400 ha, yang seharusnya tidak tersentuh oleh siapapun, sekitar 80 persen diantaranya telah berubah menjadi tambak," ujarnya.
Menurut dia, mangrove yang tersisa tinggal di pinggir sungai dan daerah yang sulit dijadikan tambak.
Ia juga menyoroti belum adanya kasus terkait alih fungsi lahan mangrove, yang ditangani dengan baik oleh kepolisian sampai ke pengadilan.
"Bahkan terindikasi ada oknum polisi Polres Pohuwato yang terlibat jual beli lahan mangrove ke masyarakat. Caranya adalah, dia membuka lahan mangrove di hutan lindung dan kemudian mencari pembeli di Sulawesi Selatan. Pembeli sudah menjual seluruh harta miliknya di Sulsel dan pindah mengelola tambak di hutan lindung Pohuwato," ujarnya.
Ia menegaskan pengrusakan mangrove di Pohuwato harus dihentikan dan ada solusi agar wilayah Cagar Alam dan hutan lindung yang telah dikuasai oleh warga masyarakat bisa dihijaukan kembali.
"Harus ada perlakuan memaksa dari pemerintah untuk intensifikasi tambak, bukan tambak tradisional seperti saat ini. Budidaya perikanan dan perikanan tangkap harus dihidupkan kembali supaya ada alternatif lain bagi buruh tambak yang tidak menguasai lahan," tambahnya.
Pewarta: Debby Hariyanti Mano
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016