"Imran terdeteksi dalam sistem kami tanpa memiliki dokumen keimigrasian yang sah dan masih berlaku. Sempat dilakukan penahanan, dan sekarang dilakukan proses deportasi," kata Kepala Kantor Imigrasi Klas III Ponorogo Najarudin di Ponorogo, Senin.
Saat digelarnya jumpa pers dengan menghadirkan WNA dimaksud, Muhamad Imran terlihat rileks.
Ia mengikuti semua perintah petugas imigrasi, baik saat dihadirkan dalam jumpa pers maupun saat sesi wawancara dengan awak media.
Ia mengaku, telah beberapa lama tinggal di Ponorogo karena istrinya asli kota Reog, yakni Nadya Asharoh Windarti.
Mereka tinggal di jalan Parikesit, Kelurahan Kepatihan, Kota Ponorogo dan telah dikaruniai dua orang anak yang didaftarkan dengan dwikewarganegaraan (afidavit), yakni sebagai warga Indonesia dan juga warga Pakistan.
"Dari hasil pemeriksaan, yang bersangkutan telah melakukan pernikahan di Pakistan dan akta pernikahannya telah didaftarkan ke kedutaan Besar Indonesia di Pakistan," kata Najarudin.
Ia mengakui, penangkapan WNA Pakistan tersebut terlambat. Namun menurutnya, hal itu terjadi lantaran Kantor Imigrasi Klas III Ponorogo masih baru berdiri, sehingga operasional sistem baru berjalan.
"Muhamad Imran terdeteksi saat sistem kami mulai berjalan. Setelah bisa dipastikan, kami lakukan penangkapan terhadap yang bersangkutan," tutur Najarudin.
Ia melanjutkan Imran diketahui telah tinggal melebihi dari batas yang telah diberikan selama 286 hari di Indonesia, sehingga saat ini dilakukan sanksi detensi di Kantor Imigrasi Kelas III Ponorogo.
Muhamad Imran dianggap telah melanggar pasal 78 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, yakni pelanggaran batas "overstay" yang melebihi 60 hari.
Setelah dilakukan pedetensian di Kantor Imigrasi Klas III Ponorogo selama kurang lebih 14 hari, kata Najarudin, Imran segera dideportasi ke negara asalnya pada Selasa (29/3) melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Pewarta: Destyan Handri Sujarwoko
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016