Menyandang nama besar sebagai putri bungsu tokoh pers ternama Adinegoro membuat Astrid, putri bungsunya, menjadi "pejuang" yang gigih dalam mendorong tegaknya pers yang ideal di Indonesia.
Sebagai anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta penasehat tim Anugerah Adinegoro- yaitu penghargaan jurnalistik yang diakui tertinggi di Indonesia, Astrid dengan gigih selalu mendorong para wartawan muda untuk berkarya dengan optimal, bukan sekedar melaporkan kejadian.
"Wartawan bukan saja bertugas melaporkan peristiwa namun harus bisa mengirim pesan kepada masyarakat dan mendorong orang untuk memajukan bangsa," ujarnya suatu ketika dalam suatu ajang penjurian lomba karya jurnalistik untuk memperebutkan Anugerah Adinegoro.
Astrid yang lebih populer dengan nama Astrid B. Soerjo, tutup usia di rumah sakit MMC, Jakarta, Senin (11/4) dalam usia 68 tahun akibat penyakit kanker yang tiga tahun belakangan ini dideritanya.
Perempuan energik yang dalam penampilan sehari-hari kerap mengenakan kebaya itu adalah salah seorang wartawan senior dan putri dari Djamaludin Adinegoro gelar Datuk Maradjo Sutan, yang menjadi satu-satunya penerus di bidang jurnalistik dari Adinegoro.
Semasa hidup Astrid pernah berkata bahwa sejak remaja dia ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi wartawan, namun cita-cita itu justru dicegah dan ayahnya menyarankan agar dia kuliah mengambil bidang lain.
"Saya ke Jerman dan mengambil kuliah arsitektur untuk menyenangkan hati ayah saya, namun ternyata akhirnya saya terjun ke dunia jurnalistik juga ya," ujarnya suatu saat kepada Antara.
" Mbak Astrid adalah teman lama saya, teman diskusi intelektual yang asyik bertiga bersama Mas Robby Sugiantoro dari Harian Kompas. Ia banyak baca buku. Kebetulan kami sama-sama pernah belajar dan tinggal di Jerman," kata Parni Hadi seorang wartawan senior.
Semangat Astrid untuk mendorong konsistensi pers yang ideal juga diakui oleh para juri Anugerah Adinegoro yang selama enam tahun terakhir ini setiap tahun mengadakan penilaian bagi karya jurnalistik di Indonesia.
" Beliau adalah sosok serorang ibu yang baik dan konsisten menjaga nilai-nilai ideal dunia pers," kata Errol Jonathans, CEO Radio Suara Surabaya yang selama beberapa tahun ini menjadi juri untuk anugerah Adinegoro.
Dia sangat tajam dan kritis melihat karya jurnalistik di Indonesia yang menurutnya masih sekedar memberi laporan, bahkan kadang kurang memikirkan dampak pemberitaan kepada masyarakat luas.
"Mengapa karya yang masuk kebanyakan hanya berita-berita yang suram? padahal banyak hal bisa ditulis untuk membuat masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak lain sadar dan tergerak untuk memajukan bangsa. Pers harus bisa membuat orang bangga menjadi bangsa Indonesia sehingga bersama-sama terus membangun dan memperkenalkan Indonesia ke dunia luar," ujarnya.
Prof. Amalia E. Maulana yang juga berturut-turut selama enam tahun ini menjadi salah seorang juri Adinegoro menilai Astrid sebagai sosok berbudi halus, baik hati dan menjadi kesayangan banyak orang.
"Sedih, belum sempat menengok meskipun saya sangat ingin menengoknya. Kita kehilangan seorang sosok yang baik," tutur fotografer Enny Nuraheni.
Astrid, alumni Lemhannas dan mantan Direktur Konfederasi Wartawan ASEAN di PWI Pusat itu pernah mengharapkan wartawan Indonesia dapat membuat karya yang bermanfaat bagi bangsa, memacu kreativitas seperti cita-cita Adinegoro .
Bagi orang-orang di lingkungannya, Astrid memang dikenal sebagai sahabat yang baik dan berusaha membuat orang lain merasa nyaman, bahkan pada saat sakit dan menjalani perawatan, dia kerap menghibur orang-orang yang datang menengok atau yang menelpon.
"Beberapa hari lalu saya menelpon meminta izin untuk menengok, tetap Bu Astrid menelpon dan bertanya tentang kesehatan saya, dan mengatakan bahwa beliau sehat dan minta didoakan," kata Taty Mansyur, staf sekretariat di PWI Pusat yang selama ini rajin menengoknya.
"Semoga penitia tetap Anugerah Adinegoro dapat menjalankan pesan-pesan bu Astrid dngan baik dan didukung oleh para juri," tutur Rita Sri Hastuti, wartawan senior yang juga kerap menjadi juri.
Selama menjalani perawatan kesehatan ke Singapura maupun di Jakarta, Astrid menunjukkan sikap sebagai pasien yang penuh semangat dan ingin bebas dari penyakitnya.
"Cucu keponakan saya akan menikah di Fiji, saya ingin sembuh dan menyaksikan pernikahannya," ujar Astrid beberapa waktu lalu.
Namun, perjalanan hidupnya berakhir sebelum seluruh cita-citanya terpenuhi.
"Gute reise meine liebe. Schwester Astrid," kata Parni Hadi, salah seorang sahabatnya.
Oleh Maria D. Andriana
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016