NU lahir dari hasil istikharah Ulama Besar KH Khalil Bangkalan dan KH Hasyim Asy'ari dengan isyarah tongkat dan tasbih. KH R Asad Syamsul Arifin yang saat itu masih remaja dan menjadi santri Kiai Kholil disuruh mengantar tongkat dengan membaca surat Thoha: 17-23 dan tasbih dengan membaca "Ya Jabbar ya Qahhar".
Dengan isyarah dan istikharah dari para Ulama, maka NU didirikan, dan penggerak utama berdirinya NU adalah munculnya ajaran-ajaran Islam yang menyimpang dari paham Ahlussunnah wal jamaah. Di sisi lain kondisi sosial dan politik saat itu sangat membutuhkan kehadiran dan peran para ulama.
Maka kemudian dalam AD/ART NU dicantumkan bahwa tujuan NU adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah (aswaja) untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta alam.
Dengan tujuan yang mulia itu, NU didirikan dalam bentuk organisasi yang terdiri atas Mustasyar (kiai-kiai sepuh berpengaruh), Syuriyah (kiai atau pakar yang memiliki keahlian), dan Tanfidziyah (pelaksana program).
Alhamdulillah berkat adanya NU para ulama dapat berperan dalam proses kemerdekaan Negara RI serta ikut serta mengisi, membangun, dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ada pun dari sisi keumatan NU melalui program-program Pengurus Besar (PB), Pengurus Wilayah (PW), Pengurus Cabang (PC), Majelis Wakil Cabang (MWC), Ranting, dan Kelompok Anak Ranting (KAR) yang berbasis masjid terus mengembangkan misinya dalam menanamkan ajaran aswaja di tengah masyarakat.
Gerakan keumatan yang sangat berpengaruh adalah melalui jalur pondok pesantren, guru ngaji, dan pendidikan diniyah yang didirikan oleh warga NU, sampai ada jargon bahwa "NU itu Pondok Pesantren besar dan Pondok Pesantren adalah NU kecil".
Misi ajaran para kiai NU dari para gurunya terus dikembangkan di tengah masyarakat. Para kiai NU membentuk Jamiyyah Yasin dan Tahlil, Manaqib, jamaah muslimatan, kelompok shalawat, dan istighatsah.
Para kyai NU juga memiliki peran kemasyarakatan seperti pada acara ngupati dan mitoni (bagi Ibu hamil), kelahiran (memberi nama anak, aqiqah, sunatan), pernikahan, kematian (memandikan, mengkafani, menguburkan, tujuh harian, 40 hari, 100 hari, 1.000 hari, dan haul) serta hari-hari besar Islam.
Di sela-sela acara tersebut para kiai NU membawa missi ajaran Aswaja yang akhirnya berkembang menjadi tradisi masyarakat yang mengakar.
Seiring dengan perkembangan zaman, NU dalam muktamarnya terus membuat keputusan-keputusan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa dan negara. Maka kemudian dibuat program-program yang tidak hanya menitikberatkan pada sisi ritualitas keagamaan, tapi juga pada bidang pendidikan dan sosial.
Melalui lembaga dan perangkat badan otonomnya seperti Muslimat, Fatayat, Gerakan Pemuda Anshor, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama-Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPNU-IPPNU), kemudian NU mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat Taman Pendidikan Quran (TPQ), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
Selain itu NU membangun rumah sakit dan koperasi serta membuat media cetak maupun elektronik (ada koran Duta masyarakat, Harian Bangsa, majalah, buletin, TV 9, dan NU online).
Ormas Islam itu juga membentuk Aswaja Centre dan Himpunan pengusaha NU (HPN) untuk menggerakkan dan memajukan ekonomi umat serta aksi-aksi sosial dalam memberi pelayanan kepada umat.
Di sisi lain, NU mengembangkan sayap tidak hanya di wilayah Indonesia. PBNU membentuk Pengurus Cabang Istimewa (PCI) di luar negeri. Bahkan PBNU diberi tempat untuk menyampaikan pidato di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pada saat dunia ditimpa oleh gerakan terorisme dengan istilah "jihad" yang secara tekstual mengambil dari referensi Islam, NU diminta oleh dunia internasional untuk menjelaskan ajaran Islam "Rahmatan lilalamin melalui" forum-forum dialog di berbagai negara.
Upaya NU untuk mengayomi ummat (riayatu al-ummah) dan memberikan sumbangan pada negara telah nyata adanya, baik melalui peran NU secara organisasi maupun melalui tokoh tokoh NU yang telah mengabdi di berbagai instansi pemerintahan.
Dituduh langgar
Namun akhir-akhir ini NU dituduh melakukan pelanggaran HAM terkait persoalan G30S/PKI, bahkan pemerintah didesak untuk meminta maaf, padahal peristiwa G30S/PKI adalah klimaks kekejaman PKI. Kekejamannya mungkin bisa dimaafkan, tetapi tidak bisa dilupakan karena menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia.
Jelas bahwa korban yang begitu besar ditutupi PKI. Dalam kaitan ini para ulama, santri, dan korban tidak akan melupakan sejarah dan pembunuhan yang dilakukan PKI. PKI dulu berusaha melenyapkan syariat Islam dan Pancasila.
Adanya Simposium Nasional membedah tragedi 1965 melalui pendekatan sejarah yang diselenggarakan pada 18-19 April 2016 di Jakarta jangan sampai menjadi media sarana kebangkitan PKI dengan menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf serta rehabilitasi dan kompensasi terhadap bekas anggota PKI.
Simposium itu jangan pula dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham komunis yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, bahkan dikhawatirkan kalau Simposium seperti itu diadakan di berbagai daerah hanya akan membuka luka lama sejarah dan perpecahan baru di kalangan generasi muda.
Kalau terkait dengan kemanusiaan, rekonsiliasi telah berjalan secara natural dan tidak dapat dipaksakan, sehingga para anggota PKI dan keturunannya dapat hidup damai dan bermasyarakat, termasuk mereka sudah banyak yang telah menjadi anggota DPR RI, DPRD, atau kepala daerah.
Saat ini NU juga dihadapkan pada tantangan adanya berbagai macam aliran yang secara Akidah dan Syariah berbeda dengan ajaran Aswaja, bahkan ada yang terang-terangan mau mendirikan Negara Khilafah dan tidak mengakui Pancasila.
Dalam konteks ini "dakwah bil hikmah", "mauizhah hasanah", dan "mujadalah" melalui diskusi dengan baik harus terus dikedepankan dan jalan kekerasan harus dihindari.
Dalam upaya menjaga NU, Pancasila, dan keutuhan NKRI, pengurus dan warga NU harus mewaspadai adanya gerakan yang akan merongrong eksistensi NU, Pancasila, dan NKRI.
Semua harus sadar dan terus memperkuat NU dan ajaran Aswaja serta harus pandai memilih informasi dan fatwa, sekalipun datangnya dari personalia pengurus dan tokoh NU. Jika informasi dan fatwa itu merugikan perjuangan NU, maka tidak perlu mengambil, apalagi menjadikannya sebagai pedoman.
Rajutlah ukhuwah NU untuk memperkuat agama, bangsa, dan negara! Ingat kata-kata bijak: "Domba yang diterkam oleh srigala adalah domba yang keluar dari barisannya. Sebuas-buas srigala tidak akan menerkam domba yang masih berada dalam barisannya".
Selamat Harlah NU ke 93. Semoga NU semakin bermanfaat untuk ummat.
*) Penulis adalah Pengasuh Yayasan Raudlah Darus Salam Sukorejo Bangsalsari Jember dan Wakil Ketua PCNU Jember Jawa Timur
(A041/A011)
Oleh HM Misbahus Salam*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016