Tidak terlihat kesibukan bongkar-muat seperti umumnya gudang-gudang lain. Kalau pun sudah tidak difungsikan lagi, sudah barang tentu gudang itu tidak akan terawat seperti saat ini.
Bangunan peninggalan pemerintahan kolonial Hindia-Belanda itu merana dan terkesan dilupakan. Padahal di bangunan tua itu, mayoritas masyarakat Gantung menggantungkan hidupnya selama beberapa dekade sebagai buruh pabrik PT Timah yang dulunya bernama PN Timah.
Sementara itu, 2 kilometer dari lokasi gudang, datang bergelombang para pelancong dari berbagai penjuru. Mereka tanpa memedulikan terik matahari yang membakar kulit ditaburi serbuk putih residu timah yang beterbangan tertiup angin.
Aba-aba pemandu wisata tenggelam oleh riuh para pelancong yang berebut foto di depan bangunan sekolah dasar. Padahal, bangunan yang sudah reyot pada beberapa bagian, bahkan dinding sampingnya pun disanggah dengan batang pohon itu, hanyalah sebuah replika yang siapa saja bisa membuatnya.
Sekelompok pelancong berpakaian necis silih berganti memasuki bangunan persegi panjang beratap seng, berdinding sirap, dan beralaskan tanah bercampur residu timah.
"Ayo anak-anak, kita mulai pelajaran hari ini," kata seorang pelancong memeragakan diri sebagai guru kelas di antara pelancong lainnya yang sibuk berswafoto atau "selfie", Selasa (18/5).
Bangunan reyot itu memang dirancang mirip ruang kelas. Di setiap ruangan dilengkapi papan tulis hitam, bangku murid dan guru. Salah satu dari tiga ruang kelas itu, bahkan ditempeli gambar para pahlawan di dinding sirapnya.
Lebih mirip kandang kambing ketimbang sekolahan, kesan seorang pelancong asal Cikarang, Jawa Barat, atas bangunan yang berdiri di atas bekas galian tambang timah di Desa Lenggang, Kecamatan Gantung, Kabupaten Belitung Timur.
"Kalau tidak karena film Laskar Pelangi, untuk apa kami jauh-jauh datang kemari," kata seorang perempuan paruh baya dari BSD, Tangerang, Banten, yang datang dengan menumpang bus pariwisata bersama para sejawatnya dari diler salah satu merek kendaraan bermotor ternama.
Tidak kurang dari 15 menit, mereka beringsut menuju objek wisata lainnya. Perjalanan darat yang memakan waktu hampir 2 jam dari Tanjung Pandan itu sepertinya tidak berarti apa-apa bagi mereka anggota rombongan yang dari segi penampilan tak ubahnya seperti kaum kapitalis yang mungkin tidak pernah mengalami kesulitan seperti anak-anak Laskar Pelangi saat mengenyam pendidikan dasar.
Sekelompok wisatawan lainnya datang belakangan. Generasi mereka berbeda dengan rombongan sebelumnya. Mereka sekumpulan pelajar yang datang ke tempat itu tanpa harus mengalami penderitaan terbatasnya fasilitas belajar yang ditanggung Ikal dan kawan-kawan dalam novel Laskar Pelangi.
Tak jauh berbeda dengan rombongan sebelumnya. Datang, berfoto dengan latar belakang sekolahan yang nyaris ambruk, lalu pulang.
Dua generasi berbeda tersebut boleh dibilang tidak mendapatkan kesan apa pun. Replika yang seharusnya menjadi wahana edukasi bagi para pelajar itu tidak dilengkapi dengan pemandu yang bisa menjelaskan tentang kaitan bangunan tersebut dengan tokoh-tokoh Laskar Pelangi.
Dengan demikian, maka replika itu tidak jauh berbeda dengan benda pujaan yang tidak diketahui pasti asal-usulnya, kecuali hanya sekolahan anak-anak Laskar Pelangi yang divisualisasikan oleh sentuhan-sentuhan kreatif melalui film yang fenomenal pada 2008.
Uniknya, replika yang sangat sederhana tersebut jauh lebih tenar dibandingkan dengan bangunan gudang di pinggir Sungai Gantong yang pernah menjadi perlambang kejayaan perekonomian Pulau Belitung masa lalu.
Ancaman Nyata
Dalam film yang disutradarai Riri Reza, sosok Lintang (sahabat Ikal) digambarkan sebagai anak cerdas yang setiap hari harus menghadapi ancaman diterkam buaya saat pulang dan pergi ke sekolah.
Kini ancaman nyata yang dihadapi Laskar Pelangi bukan lagi buaya. Namun kapitalisme yang makin menjauhkan objek wisata terebut dari anasir edukatif. Bahkan, bisa jadi dua atau tiga tahun ke depan Laskar Pelangi akan kalah pamor dengan objek wisata lain di sekitarnya yang dibangun oleh pihak swasta.
Para pemilik modal sudah menangkap peluang dari makin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke replika yang didirikan dari barang-barang bekas, utamanya bekas material pengambilan gambar film Laskar Pelangi.
Jerih payah warga Desa Lenggang yang mengusung dan menyusu kembali material bekas syuting film itu sejauh ini belum memberikan kontribusi yang signifikan pada badan usaha milik desa setempat.
Apalagi mereka sempat dilarang oleh pemerintah daerah setempat mengutip tiket masuk kepada pengunjung.
Beberapa meter di depan replika tersebut kini telah terdapat objek wisata yang tidak kalah menariknya. Dermaga Kirana, nama objek wisata yang terpisahkan oleh jalan di depan replika Laskar Pelangi itu, saban sore dipadati wisatawan.
Danau buatan bekas kolam labuh kapal penyedot timah itu dilengkapi dengan perahu dayung, kendaraan petualangan beroda empat (ATV), dan perahu karet. Anak muda dari berbagai penjuru Pulau Belitung itu menghabiskan waktunya di Dermaga Kirana menjelang matahari terbenam.
Ongkos sewa wahana yang relatif terjangkau ditambah denggan rumah-rumah keong yang terbuat dari anyaman rotan menjadi tempat kondusif bagi pasangan muda-mudi yang memadu kasih.
"Di situ nanti akan dibangun hotel berbintang," kata Yasir, petugas persewaan perahu dayung di Dermaga Kirana, menunjuk lahan kosong yang sudah dipasang beton sebagai fondasi dan pilar bakal hotel.
Menurut dia, Dermaga Kirana nantinya menjadi bagian dari hotel kelas bintang itu karena pemiliknya sama.
Yasir yang ditugasi untuk menyewakan wahana di Dermaga Kirana itu menyebutkan bosnya berasal dari Jakarta. Namun informasi yang didapat dari lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Belitung Timur, objek wisata dan hotel tersebut dibangun oleh investor dari Jepang.
Seiring dengan beroperasinya objek wisata baru Dermaga Kirana dan pembangunan hotel kelas bintang, manajemen Laskar Pelangi merenovasi Museum Kata yang berjarak sekitar 1 kilometer dari replika SD Muhammadiyah Gantung itu.
Selama proses renovasi yang dimulai pada 10 Mei 2016, museum itu tertutup untuk umum. Bahkan, tidak segan-segan para pekerja mengusir pengunjung yang mencoba masuk melalui pintu samping.
Meskipun demikian, para pengunjung masih bisa foto-foto di bagian depan Museum Kata yang merupakan rumah keluarga Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi.
Bagaimana pun bentuknya hotel dan museum itu nanti, warga sekitar hanya bisa berharap tingkat kesejahteraan mereka turut terangkat tanpa harus mengorbankan lingkungan.
"Sudah lama isi perut bumi kami dikuras habis-habisan sehingga tinggallah lubang-lubang galian tak berfungsi. Kami tidak ingin itu terulang lagi," kata H Ali, sesepuh masyarakat sekitar.
Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016