Mereka berkumpul di pemakaman umum Puroloyo, tempat leluhur mereka dimakamkan, dengan membawa aneka makanan dalam wadah berbentuk bundar yang disebut tenon.
Upacara sadranan diawali dengan doa bersama dipimpin oleh pemuka agama desa setempat, Kiai Haji Muhammad Suparno.
Selanjutnya warga membagikan makanan dan kue tradisional kepada warga kurang mampu sebagai wujud dari kesyukuran atas kelimpahan hasil bumi yang mereka peroleh.
Haji Maskuri, salah satu tokoh masyarakat Desa Sukabumi, mengatakan tradisi sadranan mulai dilakukan sejak Walisongo mengutuskan muridnya yang bernama Kiai Haji Ibrahim untuk berdakwah di daerah itu.
"Para keturunan Kiai Ibrahim yang melanjut tradisi itu, hingga sekarang oleh masyarakat di Sukabumi," katanya.
Ia menuturkan warga melaksanakan tradisi itu setiap menjelang bulan puasa. Warga yang sedang merantau pun biasanya pulang ke kampung untuk mengikuti upacara sadranan.
Menurut dia, tahun ini ada 900 tenong yang akan dibagikan kepada warga, bertambah 200an dibandingkan tahun lalu, menandakan masyarakat Desa Sukabumi makin sejahtera.
Sementara jumlah warga yang hadir antara 1.500 sampai 2.000 orang.
Sepulang dari upacara sadranan warga biasanya membuka pintu rumah untuk sanak saudara, rekan atau tetangga yang hendak berkunjung dan menyuguhkan aneka hidangan untuk mereka.
"Setiap tamu bisa merasakan menu yang dihidangkan setiap rumah. Mereka seharian bisa berkunjung ke belasan rumah milik warga sekitar, sambil mencicipi menu yang dihidangkan," kata Murtini (54), warga Dukuh Tunggulsari, Sukabumi.
"Kita yang setiap hari bekerja, sebagian hasilnya harus disedekahan kepada masyarakat yang memerlukan," tambah dia.
Pewarta: Bambang Dwi Marwoto
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016